Friday 15 June 2012

Sholat Sebagai Terapi


1.      Implikasi Shalat dalam Terapi Psikoproblem

Setiap manusia memerlukan sesuatu di luar dirinya yang mempunyai kekuatan, kebijaksanaan dan kemampuan yang melebihinya. Karena tidak selamanya manusia mampu menghadapi kesukaran dan keperluan hidupnya sendirian, bahkan juga keperluan kejiwaan, yang akan mempengaruhi kesehatan jiwanya. Sesuatu itu harus selalu ada, disaat apapun ia memerlukannya, terutama ketika menghadapi kesulitan dan kesukaran yang tak terpecahkan. Bagi orang beragama sesuatu adalah keimanan yakni keimanan kepada Allah SWT.[1]
Keimanan (rasa keagamaan) bukanlah perasaan yang hanya bersandar pada formalitas agama, tanpa subtansi, atau sekedar penunaian seruan ajaran yang dimanfaatkan untuk menyatakan kepentingan diri sendiri. rasa keagamaan, sebaliknya ialah pemahaman secara intens dan pengamalan terhadap agama, sehingga terjadi keselarasan dalam menyembah Allah dan hidup bermasyarakat. Dengan begitu agama serta para pemeluknya tidak akan terisolasi dari realitas kehidupan.[2]
Dalam Islam, keimanan merupakan ajaran yang terpenting yang berdiri atas bangunan dua kalimah syahadat. Pernyataan syahadat ini tidak berarti dan berpengaruh apa-apa tanpa adanya penghayatan dan disertai dengan pengamalan nilai-nilai ibadah yang dikandung – dalam hal ini ibadah shalat – dan demikianlah bahwa iman selalu disertai dengan amal.
Buah iman adalah amal. Dan amalan yang pokok dalam ajaran Islam adalah shalat. Didalam al-Qur’an Allah telah menegaskan bahwa shalat adalah suatu rangka pokok iman.[3] Shalat merupakan ibadah terpokok dan terpenting dalam Islam. Shalat menjadi kewajiban setiap muslim, terutama yang sudah baligh atau dewasa. Dan perlu ditekankan disini bahwa shalat mencakup semua rukun Islam.[4]  Seorang yang shalat wajib membaca dua kalimat syahadat. Setelah takbiratul ihram seorang yang shalat diharamkan makan dan minum atau mengucapkan apapun, kecuali bacaan yang  sudah disyari’atkan, ini berarti ia berpuasa dari apa yang diharamkan didalam shalat.
Keimanan yang dimanifestasikan dalam bentuk shalat, dimana shalat merupakan satu bentuk ibadah yang didalamnya berisi olah rohani, sebagai penyeimbang olah jasmani. Shalat disini tidak hanya sekedar “dilakukan” tetapi juga harus “didirikan”. Bahasan tentang mendirikan shalat sudah dijelaskan dalam bab sebelumnya.
Shalat merupakan aktifitas seorang muslim dalam rangka menghadapkan wajahnya kepada Allah sebagai Zat yang Maha Suci. Maka manakala shalat itu dilakukan secara tekun dan kontinyu, akan menjadi alat pendidikan rohani yang efektif, memperbaharui dan memelihara jiwa manusia serta memupuk pertumbuhan kesadaran. Makin banyak shalat itu dilakukan dengan kesadaran dan bukan dengan keterpaksaan, maka semakin banyak pula rohani dilatih menghadapi Zat Yang Maha Suci, efeknya akan membawa kesucian rohani dan jasmani.
Jelas bahwa Islam tidak sekedar memerintahkan manusia untuk “melakukan” shalat tetapi “mendirikan” shalat, yang mengandung pengertian yang dalam, yaitu mengkonsentrasikan pikiran dan perasaan, penyucian roh, jiwa dan badan, serta kekhusyu’an anggota badan. Sebagaimana diungkap juga oleh Abdu bahwa khusyu’ memiliki pengaruh besar dan kuat bagi jiwa seseorang, karena khusyu’ dapat mengantarkan  seseorang kepada hal-hal sebagai berikut:
  1. Menumbuhkan kemampuan untuk berkonsentrasi.
Ketika sesorang akan mengerjakan shalat untuk menghadap Tuhanya, biasanya akan muncul hal-hal lain dalam pikirannya. Maka dia harus berusaha untuk menghilangkan pikiran tersebut supaya dapat hadir ketika mengagungkan dan bermunajat kepada Allah. Cara ini akan membantu terbentuknya daya konsentrasi pada diri seseorang.
  1. Dapat mempengaruhi jiwa seseorang dikala ruhnya berhubungan dengan Tuhan dan menjadi khusyu’ kepada-Nya, sekalipun dalam waktu sebentar. Pengaruh khusyu’ bagi jiwa ini merupakan suatu hal yang pasti terjadi. Karena ruh seseorang yang tidak pernah berkomunikasi terhadap Dzat yang menciptakannya atau bahkan jarang, maka akan muncul dalam dirinya rasa gelisah, tidak qana’ah, cinta dunia, bingung dan lain sebaginya. Tetapi dengan shalat dan bermunajat kepada Allah SWT, seseorang akan dapat berserah diri dan meminta apa saja yang dikehendaki sehingga ia merasa lega  dari perasaan-perasaan yang menyertainya. Selain itu, ia akan mencari kekuatan, rasa qana’ah  dan ridho dengan memohon kepada Allah SWT. Jika mushalli  semakin khusyu’ dan dekat dengan Allah maka semakin bertambah keyakinannya terhadap Allah SWT, sehingga ia tidak mengenal putus asa dan keluh kesah dalam hatinya. Selain itu dia juga akan memilki jiwa yang kuat dalam menghadapi persoalan-persoalan yang kecil maupun besar dalam kehidupannya.
  1. Khusyu’ membuat seseorang memiliki sifat rendah hati, sebab ia melihat keangungan Allah, dan sifat tawadhu’ karena ia melihat kemegahan-Nya. Sifat-sifat inilah yang harus dimiliki oleh hamba Allah SWT. Seseorang  yang meninggalkan tabiatnya dan mengikuti keinginan hawa nafsunya maka akan muncul dalam dirinya sifat sombong atau bahkan sifat yang lebih jelek dari itu. hal ini terjadi karena manusia keluar dari tabi’atnya dengan tidak mengagungkan Allah dan memujinya.
  2. Shalat merupakan bentuk wasilah mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang tak terhitung jumlahnya. Adalah menjadi kewajiban seorang   muslim untuk tunduk kepada Dzat yang memberikan nikmat dan menyembah kepada-Nya. Salah satu bentuknya adalah dengan melaksanakan shalat. Oleh karena itu, orang yang meninggalkan shalat berarti ia ingkar terhadap nikmat Tuhan, Dzat yang maha Mulya dan Agung, menyia-nyiakan hak dan kewajiban atasnya, melangggar sumpah (ikrar) untuk beramal kepada-Nya dan ingkar untuk mengakui keutamaan Dzat yang memberi rizki kepadanya.
Zakiah mengatakan bahwa dengan terlaksananya shalat wajib lima kali sehari semalam secara sempurna akan bersihlah jiwa dari berbagai dorongan dan keinginan yang bertentangan dengan ketentuan Allah. Dan kekuatan iman pun dapat mengendalikan dorongan hawa nafsu yang tidak mengenal aturan, nilai dan sopan santun, bahkan sering didukung dan didorong-dorong oleh setan yang selalu mencari kesempatan untuk menghasut manusia berbuat salah.
Keadaan seperti diatas akan mengangkat jiwa manusia diatas dorongan-dorongan jasmani, membebaskannya dari belenggu-belenggu hawa nafsu dan menutup pintu syaitan. Orang yang mendirikan shalat dalam arti serius akan dijauhkan oleh Allah dari sifat keluh kesah dan kikir seperti yang terdapat pada kebanyakan orang.[5]



[1] Zakiah Daradjat, Islam dan Kesehatan Mental (Jakarta: Gunung Agung, 1995), hlm. 15
[2] Abu Al-Wafa’ al-Ghanami al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, Penj: A. Rofi ‘Utsman (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 11

[3] Sebagaimana yang dijelaskan Allah didalam surat al-Baqarah (2) : 1-4.
الم * ذلك الكتب لا ريب فيه هدى للمتقين * الذين يؤ منو ن بالغيب ويقيمو ن الصلوة ومما رزقنهم ينفقون * والذين يؤ اليك وماانزل من قبلك وبالاخرةهم يوقنون *  منون بماانزل
Ayat ini menegaskan bahwa orang-orang yang muttaqien (mukmin) ialah mereka yang beriman akan yang ghaib, yang tidak kelihatan pada pandangan matanya; mendirikan shalat dan mengeluarkan sebagian hartanya untuk kemaslahatan umat; kemaslahatan masyarakat, yang dinamai “jalan Allah”.  Ayat ini juga menegaskan mengerjakan shalat dan mengeluarkan harta untuk yang tersebut, adalah hasil dari dorongan iman akan Allah yang bersemi dalam jiwa . lihatlah susunan ayat. Allah meletakkan perkataan “dan mendirikan shalat”, sesudah perkataan “beriman akan yang ghaib”, dan Allah meletakkan perkataan “ dan mengeluarkan sebagian harta untuk kemaslahatan umat”, sesudah perkataan “mendirikan shalat”. Susunan ini memberikan pengertian bahwa: iman yang teguh bersemi di lubuk jiwa, menarik kepada shalat. Shalat yang ditegakkan dengan sempurna, dengan khusyu’ yang menjadi spiritnya (rohnya), membawa kepada rela mengorbankan sebagian harta untuk kepentingan pergaulan hidup bersama. Selanjutnya lihat Hasbi Ash-Shiddiqiey, Op. Cit., hlm. 40

[4] Aziz Salim Basyrahl, Shalat; Hikmah, Falsafah dan Urgensinya (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm. 63
[5] Lihat Q.S. al-Ma’arij (70): 19-21) yang sudah dikutip oleh penyusun pada Bab II, hlm.42

No comments:

Post a Comment