Masyarakat Arab pra Islam secara umum terbagi menjadi
dua kelompok, yaitu; kelompok Arab al-Baidah dan kelompok Arab al-Baqiyah.Arab al-Baidah merupakan komunitas masyarakat Arab yang mengalami kepunahan,
fenomena sejarahnya dapat diketahui melalui informasi yang tidak lengkap dari
prasasti, kitab suci dan termasuk al-Qur’an. Sedangkan Arab al-Baqiyah
merupakan komunitas Arab yang tetap eksis dan terpelihara sejarahnya di bangsa
Arab. Dalam dinamika selanjutnya kelompok Arab al-Baqiyah terpecah menjadi dua
klan/bagian yaitu klan Qohton bertempat di wilayah Arab Selatan (daerah Yaman) dan
Klan Adnan yang menempati daerah Arab bagian utara (daerah Hijaz) yang kemudian
dikenal dengan sebutan klan Arab al-Muta’arrobah atau al-Musta’rabah.
Klan Qohton pada awalnya merupakan kelompok yang maju
karena sudah memiliki peradaban yang tinggi, namun kemudian mengalami badai
krisis ekonomi dan politik yang mengakibatkan imigrasi besar-besaran ke Arab
bagian Utara yaitu Klan Adnan. Fenomena imigrasi yang dilakukan klan Qohton ke
klan Adnan ini yang mengakibatkan kebangkitan dan perkembangan peradaban di
Arab Utara.
Arab Utara mengalami kemajuan disebabkan oleh dua
factor, yaitu factor eksternal yaitu migrasi yang dilakukan oleh Arab
Selatan. Kedua, kota Makkah berfungsi secara maksimal, sebagai pusat kota,
pusat religious, ekonomi, politik dan budaya.
A. Batasan Masa
dan Letak Geografis
Masyarakat Arab Jahiliyah hidup di jazirah Arab
sekitar 150 tahun sebelum kedatangan Islam atau sekitar pertengahan abad ke 4-5
M. masyarakat Jahiliyah terbagi menjadi dua kelas masa, yaitu al-Jahiliyah
al-Ula yang berarti komunitas masyarakat Arab Jahiliyah fase pertama dan al
Jahiliyah al-Tsaniyah yang berarti masyarakat Arab jahiliyah pada fase
kedua. Di dalam review ini masyarakat Arab Jahiliyah yang dibahas adalah
masyarakat Arab Jahiliyah pada fase kedua.
Dari sisi geografis Jazirah Arab termasuk kawasan Asia
Barat, di ujung Barat Daya Asia. Sebelah utara berbatasan dengan Syiria,
sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Hindia, sebelah timur berbatasan
dengan Teluk Persia dan Laut Oman sedangkan di bagian barat berbatasan dengan
Laut Merah. Wilayah jazirah Arab merupakan wilayah yang tandus, gersang dan ganas.
B. Masyarakat
Arab Hadhor (berperadaban) dan Masyarakat Arab Badwi (primitif)
Ada dua tipologi masyarakat Arab Selatan (Qohton)
maupun Utara (Adnan), yaitu masyarakat pra Islam berperadaban (al
Arab al-Mutahadirah) dan yang belum berperadaban (al Arab al-Badwah).
Kelompok pertama merupakan kelompok yang maden (menetap), berkomunikasi
dengan masyarakat non Arab, masyarakat kota makkah dan secara ekonomi
berdagang, dilakukan oleh kabilah Quraisy. Untuk kelompok kedua merupakan
kelompok yang hidupnya nomaden (berpindah-pindah tempat), berada di
daerah pedalaman, terisolir dan berprofesi sebagai peternak, dilakukan oleh
Arab Badui.
C. Sistem
Kesukuan Masyarakat Arab Pra Islam
Masyarakat Arab Pra Islam, baik yang sudah
berperadaban (hadhar) maupun masyarakat Arab Badui mereka sama-sama
memiliki kekuatan kesukuan, kesukuan merupakan symbol identitas kelompoknya
yang terbangun dari kesamaan dinasti, wilayah dan status social, dan kesukuan
telah berlangsung secara turun temurun semenjak zaman Nabi Nuh as. Dalam suku
diatur menjadi beberapa tingkatan mulai dari yang terkecil sampai yang terbesar
yaitu; al-butun (keluarga kecil), meningkat di atasnya adalah al-Asyirah
(keluarga) dan tingkatan yang paling besar Qobilah (suku).
Dalam persoalan social dengan pihak-pihak eksternal
sistem kesukuan bersifat inklusif hal ini Nampak ketika mereka melakukan
hubungan bisnis dengan pihak di luar suku. Akan tetapi terkait hubungannya
dengan antar suku lebih eksklusif, ataupun ketika terjalin hubungan yang
inklusif seringkali ditandai dengan peristiwa yang konfrontatif, begitu banyak
perselisihan dan permusuhan.
D. Beberapa
Fenomena Kehidupan Masyarakat Arab pra Islam (Jahiliyah)
1.
Agama dan sistem Kepercayaan
Masyarakat Arab pra Islam (Jahiliyah)
Kondisi keagamaan dan kepercayaan masuarakat Arab
Jahiliyah sangat heterogen dan plural, diantara agama dan kepercayaan yang
mereka anut adalah sistem kepercayaan paganisme, agama Nasrani Yahudi, dan
Majusi. Disamping itu ada juga komunitas kecil yang tidak menganut agama dan
kepercayaan tersebut sehingga mereka mendambakan adanya ajaran agama yang baru
(kelompok hanafiyah).
Semenanjung Arab merupakan tempat kelahiran rumpun
Semit. Istilah Semit berasal dari kata syem yang tertera pada
Perjanjian Lama (Kitab Kejadian, 10:1) Penjelasan tradisional yang menyebutkan
bahwa rumpun bangsa Semit adalah keturunan anak-Nuh yang tertua. Masyarakat pada masa kehidupan Badui
banyak yang hidup nomaden. Kondisi alam, dan pola hubungan antara masyarakat
yang terjalin sangat mempengaruhi pemikiran dan gagasan mereka tentang Tuhan,
agama, dan spiritualitas. Dasar-dasar agama-agama Semit berkembang di
oasis-oasis, bukan di daratan berpasir, dan berpusat di wilayah yang berbatu
dan bermata air, dalam Islam diwakili dengan simbol Hajar Aswad dan sumur
Zamzam, serta dengan Bethel dalam Perjanjian lama.
Jadi agama pertama yang ada di Semenanjung Arab adalah
agama Semit, meskipun lambat laun kata Semit ini berubah arti menjadi bukan
agama. Agama ini telah memiliki pusat seperti agama-agama pada masa kini. Bisa
di katakan pemusatan-pemusatan atau simbol-simbol yang ada dalam agama saat ini
adalah warisan dari suku Semit.
Suku berikutnya adalah suku Ibrani. Antara 1500 – 1200
SM, bangsa Ibrani berhasil menemukan jalan ke Suriah bagian selatan, palestina
dan bangsa Aramia (orang-orang Suriah) ke sebelah utara, terutama Coele-Suriah
(Dataran rendah Suriah, al-Biqa’ modern, terletak antara dua Libanon). Diantara
bangsa-bangsa lain, bangsa Ibrain merupakan bangsa pertama yang memperkenalkan
gagasan yang jelas tentang satu Tuhan, dan monoteismenya merupakan cikal bakal
keyakinan orang Kristen dan Islam. Sekitar
1225 SM suku Ibrani melakukan perjalanan dari Mesir menuju Palestina. Suku
Ibrani (Rachel) menetap untuk sementara di Sinai dan Nufud selama kurang lebih
40 tahun. Musa (Kepala suku Ibrani) menikah dengan seorang wanita arab, anak
perempuan seorang pendeta Madyan, penyembah Yehwah yang memerintahkan Musa
untuk menyebarkan agama baru. Yahu (Yehwen – Jehovah) sepertinya
merupakan Tuhan suku Madyan atau penduduk Arab Utara. Ia adalah Tuhan
orang-orang gurun, sederhana namun tegas. Ia bertempat tinggal di sebuah tenda
dan ritualnya sama sekali tidak rumit. Sesembahannya berupa makanan dan kurban
binatang gurun serta sesajen yang dibakar ditengah-tengah binatang ternak.
Pada masa kerajaan Himyar, agama di Arab Selatan pada
dasarnya adalah sebuah sistem perbintangan yang memuja dan menyembah dewa
bulan. Bulan yang disebut Sin oleh orang-orang di Hadramaut, Wadd (Cinta
atau pecinta, atau ayah) oleh orang-orang Minea, Almaqah (Tuhan pemberi
kesehatan) oleh orang-orang Saba, ‘Amm (paman dari jalur Ayah) oleh orang-orang
Qataban, merupakan simbol paling sakral yang di puja di kuil mereka. Bulan
dianggap sebagai dewa laki-laki dan kedudukannya lebih tinggi dari matahari, Syams,
yang merupakan pasangannya. ‘Atstar (Venus mirip dengan Tuhan perempuan
orang Babilonia, yaitu Isytar, atau ‘Asytart menurut orang-orang Phoenisia),
anak-anak mereka adalah anggota ketiga
dari tiga serangkai itu. Dari pasangan benda langit ini lahir benda-benda
langit lain yang dianggap sebagai Tuhan. Tuhan orang-orang Arab Utara, al-Lat
yang disebutkan dalam al-Qur’an mungkin merupakan nama lain dari Tuhan
Matahari. Saat
kerajaan Himyar kedua, salah satu Rajanya yang bernama Abu Karib As’ad Kamil,
atau Abi Kariba As’ad (sekitar 385 – 420 M) yang diriwayatkan telah menaklukkan
Persia dan kemudian memeluk agama Yahudi. Periode Himyar yang terakhir
ini ditandai dengan diperkenalkannya agama Yahudi dan Kristen ke Yaman.
Tradisi kepercayaan menyembah dewa ini dapat dikatakan
sebagai wujud rasa syukur mereka kepada kesehatan yang diberikan untuk tuhan
pemberi kesehatan, rasa syukut atas sinar matahari yang diberikan untuk tuhan
matahari, rasa syukur atas tumbuh suburnya tanaman anggur untuk Tuhan Anggur,
dan Tuhan-tuhan lainnya. Ini dilakukan sebelum mereka menyadari bahwa Tuhan
pencipta alam semesta ini hanyalah satu atau Esa, yaitu Allah SWT.
Agama Kristen mazhab Monofisit (bahwa Isa memiliki
sifat tunggal yang tidak bisa dipisahkan, yaitu ia mengandung unsur Tuhan
sekaligus unsur Manusia) perlahan-lahan mulai terdesak di utara, terutama di
Suriah, pada masa-masa paling awal. Duta Kristen pertama ke Arab Selatan
sepanjang yang kita baca diutus oleh Raja Constantius pada 356 dibawah pimpinan
Theophilus Indus, seorang Aria, Theophilus berhasil membangun sebuah gereja di
‘Adan (Aden) dan dua gereja lainnya di daerah Himyar. Najran, yang mulai
mengenal agama Kristen Madzab Monofisit yang dibawa oleh seorang pendakwah dari
Suriah bernama Taymiyun (Phemion), memeluk agama baru ini di sekitar 500
Masehi.
Kristen monofisit ini merupakan agama kristen pertama
yang ada di Arab, yang memiliki keyakinan adanya Tuhan. Tetapi Tuhan mereka
masih berbentuk manusia. Mereka menganggap bahwa Isa memiliki sifat tunggal
yang orang lain tidak memilikinya sehingga mereka mengatakan bahwa Tuhan mereka
adalah Isa.
Keadaan Hijaz menjelang kelahiran Islam dijelaskan
bahwa tahap pemujaan terhadap benda-benda langit muncul sejak lama. Al-‘uzza,
al-lat dan Manat – tiga anak perempuan Allah- memiliki tempat pemujaannya
masing-masing yang di sakralkan di daerah yang kemudian menjadi tempat
kelahiran Islam. Karena
keinginannya yang kuat untuk memalingkan masyarakat dari gagasan-gagasan
keagamaan pra – Islam, terutama tentang penyembahan berhala, Muhammad yang
menganut paham monoteisme akhirnya mendeklarasikan bahwa agama baru yang ia
bawa menghapus semua agama sebelumnya. Belakangan, hal itu dimaknai sebagai bentuk
larangan terhadap gagasan dan cita-cita pra-Islam. Meski demikian,
gagasan-gagasan yang sudah tumbuh tidak mudah untuk dihilangkan, dan satu suara
saja tidak cukup kuat untuk menghilangkan masa lalu. Agama yang
dianut oleh orang Arab, setelah agama Yunani dan Kristen adalah Islam.
Dari deskripsi diatas, dapat kita simpulkan bahwa
agama yang cinta akan perdamaian adalah agama Islam. Islam tidak mencintai
kekerasan apalagi pertikaian seperti agama lain yang telah didiskripsikan
diatas. Islam menghargai perbedaan pendapat, perbedaan faham dan kepercayaan,
dan tidak memusuhi orang yang berbeda pandangan. Begitulah keadaan masyarakat
sebelum datangnya Islam terlebih sebelum di turunkannya al-Qur’an.
2.
Kehidupan Sosial Politik dan Masalah
Ashobiyah
Dalam kehidupan social politik ada dua hal yang
terbilang urgen, pertama; adanya sistem tribalisme (kesukuan) merupakan
sistem social politik yang primordial, eksklusif dan faternalistik, dibangun
dengan dasar kesamaan darah. Kedua; adalah masalah ashobiyah yaitu
solidaritas dan fanatisme kesukuan.
3.
Sistem Kesukuan dan Ashobiyah dalam
Karya Puisi
Ketika terjadi konflik antar suku seringkali dilakukan
retorika dan media puisi bertemakan Ashobiyah untuk memuji sukunya dan
menjelekkan suku yang lain. Puisi juga memiliki makna yang kutural, karena
ternyata dengan puisi itu sangat disenangi dan menjadi idola bagi setiap suku
yang ada di jazirah Arab ketika itu.
4.
Kehidupan Ekonomi dan Masalah
Kesenjangan Sosial
Masarakat Arab Jahiliyah dalam melakukan kegiatan
ekonomi pada dasarnya adalah dengan melakukan empat sumber mata pencaharian
pook seperti; perdaganngan, pertanian, industry dan peternakan. Aktifitas
perdagangan lebih banyak dilakukan oleh suku Quraisy, pertanian dilakukan oleh
suku Yahudi yang ada di wilayah Madinah, industry dan perdagangan digeluti oleh
komunitas Yahudi. Untuk kegiatan beternak merupakan sumber ekonomi yang secara
mayoritas dilakukan oleh suku Arab Badui (primitif).
Sementara ada komunitas Arab Jahiliyah yang sangat
memprihatinkan, yaitu komunitas sho’alik (komunitas yang terpinggirkan),
kelompok ini tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan yang jelas sehingga
mereka hidup dalam garis kemiskinan dan penderitaan yang hidup di pedalaman dan
termasuk suku yang paling rendah. Dengan demikian komunitas sho’alik memberikan
fenomena yang menjadikan adanya kesenjangan social antara suku-suku elite dari
kelompok borjuis pedagang seperti suku Quraisy dengan suku-suku badui yang
termarginalkan dari kelas Khula’a (komunitas yang terusir dari institusi
kesukuan).[14]
I. KESIMPULAN
Masyarakat Arab pra Islam merupakan masyarakat suku
yang heterogen dan plural. Kesukuan merupakan bagian yang inhern dalam
kehidupan social secara keseluruhan.
Adanya konsep ashobiyah (solidaritas dan
fanatisme kesukuan) merupakan falsafah kehidupan bagi setiap suku dalam rangka
mempertahankan eksistensi dan citra intern yang dimiliki oleh setiap suku.
Dalam pola kehidupan ekonomi, kesukuan ternyata dapat
memfragmentasikan pola kesenjangan social yang tajam antara kelompok struktur
ekonomi elite dari kalangan borjuis (suku pedagang yang bermodal) dengan
kelompok social suku marginal dari kelompok sho’alik (suku rendahan yang
telah terisolir dari kelompok sukunya. Adanya kesenjangan social yang begitu
tajam mengakibatkan ketidakadilan social yang pada akhirnya dapat menjadi
pemicu awal terjadinya anarkhisme social yang dilakukan oleh kelompok sho’alik.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Hatta, DR.,MA. Tafsir Qur’an Per Kata
Dilengkapi Azbabun Nuzul dan Terjemah. Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2009.
Ahmad Amin, Fajrul Islam (terjemah Zaeni Dahlan), (Jakarta: Bulan
Bintang), 1968.
Husain Athwan, Muqaddimah al-Qashidah al-Aroriyah fi al-Syi’ri al-Jahili,
(Mesir: Dar al-Ma’arif), t.t.
Fazlur Rahman, Tema Pokok al Qur’an, (penerjemah) Anas Mahyuddin,
(Bandung: Pustaka), 1996.
Jurzi Zaidan, Tarikh Adab al-Lughah al-Arobiyyah, (al-Qohiroh: Dar
al-Hilal), t.t.
M. Siba’i Bayyumi, Tarikh al-Adab al-Arbori fi al-Astiri al Jahili,
(Mesir : Maktabah al-Nahdlah), 1948.
Montgomeri Watt, Muhammad at Macca, (Karachi: Oxford University
Press), 1982.
Muhammad Sarhan, Fiqh Lughah, (Riyadh: al-Idarah al- Imamah), t.t.
Syauqi Dhoif, Tarikh al-Adab al-Arabi fi al-Ashri al-Jahili, (Mesir:
Dar al-Ma’arif), t.t.
Yusuf Kholif, al Syu’aro al Sho’alik fi al Ashri al Jahili, (Mesir:
Dar al Ma’arif), t.t.
No comments:
Post a Comment