KONSEP FITRAH DALAM PEMBENTUKAN
SIKAP KEBERAGAMAAN ANAK
A.
Konsep Fitrah
1.
Pengertian
Fitrah
Fitrah
berasal dari kata fathara yang sepadan dengan kata khalaqa dan ansyaa
yang artinya mencipta. Biasanya kata fathara, khalaqa dan ansyaa
digunakan dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan pengertian mencipta sesuatu yang
sebelumnya belum ada dan masih merupakan pola dasar (blue print) yang
perlu penyempurnaan. Kata-kata yang biasa digunakan dalam Al-Qur’an untuk
menunjukkan bahwa Allah menyempurnakan pola dasar ciptaan Allah atau melengkapi
penciptaan itu adalah kata ja’ala yang artinya menjadikan yang
diletakkan dalam satu ayat setelah kata khalaqa dan ansyaa.
Perwujudan dan penyempurnaan selanjutnya diserahkan pada manusia.[1]
Al-Qur’an
menjelaskan tentang penciptaan manusia menurut fitrah. Firman Allah SWT:
Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus
kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrahnya ...” (Q.S. Ar-Rum: 30).[2]
Para ulama berbeda
pendapat tentang makna fitrah sebagai berikut :
a.
Fitrah berarti suci (al-thuhr).
b.
Fitrah berarti tulus
dan murni (al-ikhlas).
c.
Fitrah berarti agama
Islam (al-millat al-Islam).
d.
Fitrah berarti
ke-Esa-an Allah (al-tauhid).
e.
Fitrah berarti tabiat
asli manusia (al-tabi’iy al-insany).
f.
Fitrah berarti
penciptaan mengenai kebahagiaan dan kesengsaraan (al-sa’idan wa al-sagiyah).
g.
Fitrah berarti potensi
untuk mengabdi dan ma’rifat kepada Allah.
h.
Fitrah berarti
kesanggupan untuk menerima kebenaran (isti’dad fi al-baq).
Beberapa
makna nasabi tersebut merupakan penafsiran dari Q.S. Ar-Rum ayat 30. Kedelapan
makna fitrah tersebut dapat disebut sebagai potensi dasar manusia. Artinya, setiap
manusia memiliki beberapa potensi itu, dan ia diberi kebebasan untuk
mengembangkan potensi mana yang ia sukai.
Ibnu
Khaldun, umpamanya, mencoba untuk mengedepankan bahwa manusia merupakan makhluk
yang memiliki potensi. Diantaranya adalah pada dimensi rasionalitas-intelektual.
Ini terlihat dari pandangannya bahwa pengetahuan dan memberi pelajaran
interaksi edukatif merupakan pembawaan tabiat bagi masyarakat manusia. Hal ini disebabkan
karena kemampuannya untuk berpikir. Dengan potensi akalnya, manusia mampu
mengerti, memahami, menggambarkan sebab akibat sesuatu gejala, yang kemudian mencari
alternatif sebagai upaya mempertahankan kehidupannya. Dengan kemampuan akalnya,
manusia mampu untuk berkreasi dan berbudaya secara dinamis.[3]
Para
filosuf pada umumnya telah berbeda-beda dalam memandang esensi manusia, yang sekaligus
juga akan menunjuk berbagai perkembangan pemikiran dalam dunia filsafat itu
sendiri. Plato umpamanya, ia memandang manusia sebagai suatu pribadi yang tidak
terbatas pada saat bersatunya jiwa dengan raga. Jiwa dan raga diciptakan secara
bersamaan. Jiwa telah ada jauh sebelum ia muncul ke dunia, sehingga ada yang
berpendapat bahwa yang disebut manusia secara esensial adalah jiwa itu sendiri.
Aristoteles
dan para pengikutnya telah pula merumuskan pemikirannya yang cerdas dari
analisis panjangnya tentang manusia. Dalam tesisnya ia mengungkapkan bahwa
manusia adalah makhluk organis yang fungsionalisasinya tergantung pada jiwanya.
Rene
Descartes (w. 1650 M) seorang tokoh rasionalisme menjelaskan bahwa jiwa adalah
terpadu, rasional dan konsisten yang dalam aktivitasnya selalu terjadi
interaksi dengan tubuh.
Ibnu
Maskawaih, seorang filsuf Muslim klasik, dalam buku Tahzib al-Akhlak-nya
menyebutkan, bahwa manusia merupakan kombinasi dua substansi yang secara
diametrik bertenangan baik esensi, kualitas maupun di segi fungsinya, yakni
jiwa dan raga. Jiwa adalah substansi spiritual, murni, simpel, tidak dapat dilihat
dan bersifat abadi, sedangkan raga adalah substansi material yang bersifat
sementara.
Ibn
Maskawaih mengakui bahwa esensi kemanusiaan yang sesungguhnya berada pada jiwa,
namun tubuh dalam hal ini dapat mempengaruhi jiwa dalam meraih kesempurnaannya.
Eksistensi tubuh juga diperlukan manusia dalam meraih kemanusiaan, karena
fungsinya yang dapat mempermudah kerja jiwa menuju penyempurnaannya.
Dalam
konteks ini, Raghib al-Isfahani, seorang filsuf muslim klasik mengemukakan
bahwa manusia tersusun dari unsur bahimah di satu sisi dan malakinya
di sisi lainnya. Yang pertama merupakan syahwat badani yang biasanya terlihat dari
aktivitas-aktivitas seperti makan, minum, nikah dan berbagai bentuk kelezatan badan
lainnya. Manusia dalam kondisi ini akan seperti binatang apabila eksistensi
benar-benar telah menguasai diri manusia.[4]
Timbulnya
berbagai interpretasi “fitrah” di atas tidak terlepas dari sudut pandang masing-masing
pakar dalam melihat kata “fitrah” tersebut. Namun yang jelas, dari berbagai
interpretasi tentang kata “fitrah” memiliki persamaan yaitu adanya hubungan
manusia dengan sang pencipta.
Dalam kaitannya dengan teori kependidikan
dapat dikatakan bahwa “fitrah” mengandung implikasi kependidikan yang
berkonotasi kepada paham konvergen. Karena “fitrah” mengandung makna kejadian
yang di dalamnya berisi potensi dasar beragama yang dan lurus (al-din
al-qayyim) yaitu Islam. Namun lingkungan dasar ini bisa diubah oleh
lingkungan sekitarnya.[5]
Kalau
melihat hadits Nabi SAW yang berbunyi :
ما من مولود يولد على
الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصرانه أو يمجسانه (رواه مسلم)
Artinya : “Tidaklah
anak itu dilahirkan kecuali atas dasar fitrah maka kedua orang tuanya
menjadikan anak tersebut Yahudi, Nasrani ataupun Majusi ” (H.R. Abu
Muslim).[6]
Dapat
dipahami bahwa “fitrah” sebagai pembawaan sejak lahir biasa dipengaruhi oleh
lingkungan sekitarnya, bahkan ia tak akan dapat berkembang sama sekali tanpa
adanya pengaruh lingkungan tersebut. Sementara lingkungan itu sendiri dapat
diubah bila tidak favorable (tidak menyenangkan karena tidak sesuai
dengan cita-cita manusia).
Namun
demikian, meskipun “fitrah” dapat dipengaruhi lingkungan, tetapi kondisinya
tidaklah netral. Ia memiliki sifat yang dinamis, reaktif dan responsif terhadap
pengaruh dari luar. Dengan istilah lain dalam proses perkembangannya terjadi
interaksi (saling mempengaruhi) antara “fitrah” dan lingkungan sekitarnya,
sampai akhir hayat manusia.[7]
2.
Hakikat Manusia
Manusia
sebagai makhluk materi maka pertumbuhannya berproses dari materi juga. Sel
telur dari ibu bergabung dengan sperma dari sang ayah, tumbuh menjadi janin,
yang akhirnya ke dunia sebagai manusia. Adapun apa yang disebut ruh atau jiwa
pikiran, perasaan (tanggapan, kemauan, kesadaran, ingatan, khayalan, asosiasi,
penghayatan dan sebagainya) dari zat atau materi yaitu sel-sel tubuh. Oleh
karena itu, manusia sebagai materi, maka keperluan-keperluannya juga bersifat
materi, ia mendapatkan kebahagiaan, kesenangan dan sebagainya juga dari materi.
Maka terbentuklah suatu sikap pandangan yang materialistis. Oleh karena itu,
materi itu adanya di dunia ini, maka pandangan materialistis itu identik dengan
pandangan hidup yang bersifat duniawi, sedangkan hal-hal yang bersifat ukhrawi
(akhirat) dianggap sebagai khayalan belaka.
Dalam
pembahasan mengenai hakikat manusia, maka persoalan yang paling baik adalah
persoalan tentang ruh. Dalam proses penciptaan manusia seperti yang dibicarakan
di atas, Al-Qur’an secara jelas menerangkan bahwa tubuh manusia dibentuk dari
tanah, sedangkan daya hidup yang bersifat menggerakkan, tubuh dan berkembang
dimulai dari air, sedangkan ruh yang menjadikan pendengaran, penglihatan dan
hati nurani berfungsi, yaitu setelah ruh diberikan kepada manusia, dan ruh ini
diberikan ditiupkan langsung dari Tuhan sendiri.[8]
Ruh
adalah sesuatu yang tidak menempati ruang. Sehingga tak dapat disentuh atau
dilihat oleh pancaindra. Jadi berlawanan dengan zat yang menempati ruang
betapapun kecilnya zat itu.
Istilah-istilah
lain dari ruh yang artinya hampir sama ialah jiwa, sukma, nyawa, semangat dan
sebagainya. Materi hanyalah penjelmaan ruh. Fichtie berkata, “Bahwa segala
sesuatu yang lain (selain dari ruh) yang rupanya ada dan hidup hanyalah suatu
jenis, perumpamaan, perubahan atau penjelmaan dari pada ruh”.[9]
Dalil
yang menunjukkan manusia berasal dari ruh Allah SWT adalah:
#sÎ*sù ¼çmçF÷§qy àM÷xÿtRur ÏmÏù `ÏB ÓÇrr (#qãès)sù ¼çms9 tûïÏÉf»y
Artinya : “Maka apabila Aku telah menyempurnakan
kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh-Ku, maka tunduklah kamu
kepadanya dengan bersujud” (Q.S. Al-Hijr: 29).[10]
Dasar
pikiran dari aliran ini ialah bahwa ruh itu lebih berharga, lebih tinggi
nilainya daripada materi. Hal ini dapat kita buktikan sendiri dalam kehidupan
sehari-hari. Misalnya seorang wanita atau seorang pria yang kita cintai, kita
tak mau pisah dengannya. Tetapi kalau ruh dari wanita atau pria yang kita
cintai tadi tidak ada pada badannya, berarti dia meninggal dunia, maka mau tak
mau kita harus melepaskan dia untuk dikuburkan. Kecantikan, kejelitaan, kemolekan,
kebagusan yang dimiliki oleh wanita atau pria tadi tak akan ada artinya tanpa
ruh.
Meskipun
badannya masih utuh, masih lengkap anggota badannya, tetapi kita mengatakan “dia
sudah tidak ada, dia sudah pergi, dia sudah menghadap Tuhannya”. Demikian
aliran ini menganggap bahwa ruh itu ialah hakikat, sedangkan badan adalah penjelmaan
atau bayangannya saja.
Aliran
dualisme mencoba untuk mengawinkan kedua aliran tersebut di atas. Aliran ini
menganggap bahwa manusia itu pada hakikatnya terdiri dari dua substansi yaitu
jasmani dan rohani, badan dan ruh. Kedua substansi ini masing-masing merupakan unsur
asal yang adanya tidak tergantung satu sama lain jadi badan tidak berasal dari
ruh juga sebaliknya ruh tidak berasal dari badan. Hanya dalam perwujudannya,
manusia itu serba dua, jasad dan ruh. Yang keduanya berintegrasi membentuk yang
disebut manusia. Antara badan dan ruh terjalin hubungan yang bersifat kausal,
sebab akibat. Artinya antara keduanya saling pengaruh mempengaruhi. Apa yang
terjadi di satu pihak akan mempengaruhi di pihak yang lain. Sebagai contoh, orang
cacat jasmaninya akan berpengaruh pada perkembangan jiwanya. Sebaliknya orang
yang jiwanya cacat atau kacau akan berpengaruh pada fisiknya.
Pembicaraan
mengenai hakikat manusia ternyata terus menerus berjalan dan tak kunjung berakhir.
Orang belum merasa puas dengan pandangan-pandangan di atas, baik dari aliran
serba zat, serba ruh maupun aliran dualisme. Ahli-ahli filsafat modern dengan
tekun berpikir lebih lanjut tentang hakikat manusia mana yang merupakan
eksistensi atau wujud sesungguhnya dari manusia itu. Mereka yang memikirkan bagaimana
eksistensi manusia atau wujud manusia itu sesungguhnya, disebut kaum
eksistensialis dan alirannya disebut aliran eksistensialisme.
Jadi
mereka ini mencari inti hakikat manusia yaitu apa yang menguasai manusia secara
menyeluruh. Dengan demikian aliran ini memandang manusia tidak dari sudut serba
zat atau serba ruh atau dualisme dari dua aliran itu, tetapi memandangnya dari
segi eksistensi manusia itu sendiri, yaitu cara beradanya manusia itu sendiri
di dunia ini.
Seperti
telah dijelaskan di atas, bahwa pemikiran tentang apa, dari mana dan ke mana
manusia itu tidak ada henti-hentinya. Berdasarkan kenyataan bahwa manusia itu
mempunyai badan jasmani dan mempunyai roh, jiwa atau rohani. Berbicara mengenai
badan manusia itu sejak kita menemukan paling tidak empat macam pandangan,
yaitu sebagai berikut :
a.
Pandangan idealistis tentang
badan manusia
Pandangan
ini mengatakan bahwa badan adalah sinar dari roh. Dalam hal ini roh diibaratkan
seperti listrik, badan adalah cahaya. Badan dan roh tak pernah bertentangan
satu sama lain. Badan seolah-olah tak ada yang ada hanya roh.[11]
Al-Qur’an As-Sajdah: 9 mengatakan:
¢OèO çm1§qy yxÿtRur ÏmÏù `ÏB ¾ÏmÏmr ( @yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur 4 WxÎ=s% $¨B crãà6ô±n@
Artinya : “Kemudian Dia menyempurnakan dan
meniupkan ke dalamnya roh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur” (Q.S.
As-Sajdah: 9).[12]
b.
Pandangan
materialistis tentang badan manusia
Pandangan
materialistis ini dengan tegas mengatakan bahwa yang ada hanya badan. Orang tak
perlu berpikir lebih lanjut apa di balik badan itu, yang nampak pada kita ialah
bahwa manusia berbadan yang bersifat materi, yang terdiri dari darah, daging,
tulang dan sebagainya, seperti makhluk-makhluk hidup yang lain. Dengan begitu,
kesenangan, kebahagiaan atau kesukariaannya tidak dapat dilepaskan dari barang
materi. Jadi seluruh manusia itu adalah jasmani.
c.
Pandangan ketiga ini
berpendapat bahwa badan adalah merupakan musuh dari roh. Antara badan dan roh
selalu bertentangan satu sama lain. Badan dianggap menarik ke bawah kejahatan.
Pandangan ini biasanya juga dualistis, artinya tidak memandang badan dan jiwa
sebagai satu hal yang ada melainkan sebagai dua hal yang berdiri sendiri.
d.
Pandangan keempat ini
memandang badan manusia sebagai jasmani yang di “rohani” kan atau rohani yang
di “jasmani” kan, badan bukan hanya materi. Daging kita tidak sama dengan
daging sapi atau kambing. Pancaindra kita tidak sama dengan indra hewan. Jadi
kejasmanian manusia itu dengan segala-galanya. Jika dilihat kedudukannya dari
keseluruhan manusia, tidak sama dengan kejasmanian hewan. Sebab jasmani manusia
adalah jasmani yang dirohanikan atau dalam jasmani manusia itu ruhlah yang
menjasmani.
Dengan
pandangan ini maka antara badan dan ruh adalah menyatu dalam pribadi manusia
yaitu yang disebut “aku”. Aku ini ya jasmani, ya rohani. Yang ada adalah aku
dan badan adalah aku dalam bentukku jasmani. Badan adalah unsur diriku, unsur
aku-ku. Hubungan antara aku dan badan seperti hubungan antara pikiran dan suara
(bahasa) yang merupakan kesatuan. Kalau kita menangkap suara (kata-kata)
berarti kita menangkap pikiran. Kalau orang melihat badanku berarti aku yang
dilihatnya, meskipun demikian aliran ini tetap menganggap bahwa antara ruh dan
badan tetap berbeda.
Islam
berpandangan bahwa hakikat manusia ialah manusia itu merupakan perkaitan antara
badan dan ruh. Badan dan ruh masing-masing merupakan substansi yang berdiri
sendiri, yang tidak tergantung adanya oleh yang lain. Islam secara tegas mengatakan
bahwa kedua-duanya substansi alam. Sedangkan alam adalah makhluk maka keduanya
juga makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT.
Pertama-tama
memang manusia sebagai makhluk alamiah yang mempunyai sifat dan ciri-ciri sebagaimana
makhluk alamiah lainnya yang terikat dengan hukum-hukum alamiah. Dalam diri
manusia terdapat unsur-unsur alam, ada unsur benda-benda mati, ada unsur
tumbuh-tumbuhan (manusia mempunyai sifat tumbuh dan berkembang), ada
unsur-unsur hewani, dengan kemampuan gerak, mempunyai nafsu, insting dan
sebagainya. Tetapi manusia lebih daripada itu. Manusia secara fisik mempunyai
bentuk yang lebih baik, lebih indah, lebih sempurna, secara alami manusia
menjadi makhluk yang paling tinggi.[13]
Firman Allah SWT:
ôs)s9 $uZø)n=y{ z`»|¡SM}$# þÎû Ç`|¡ômr& 5OÈqø)s? (التين: 4)
Artinya : “Telah Kami ciptakan manusia dengan sebaik-baik
bentuk” (Q.S. At-Tin: 4).[14]
Demikian
firman Tuhan. Kesempurnaan bentuk fisik manusia tersebut, masih dilengkapi oleh
Allah dengan ditiupkan kepadanya ruh-Nya, sehingga manusia mempunyai derajat
yang mulia, lebih mulia dari malaikat (malaikat menaruh kehormatan padanya) dan
manusia menjadi khalifah di bumi (di alam).[15]
Dalam
tahapan nafs, hakikat manusia ditentukan oleh kualitas amal, karya dan
perbuatannya, bukan ditentukan oleh asal-usul keturunannya, kelompok sosial
dengan golongan, ataupun bidang yang menjadi profesinya.[16]
Oleh karena itu, Al-Qur’an 49: 13 menegaskan:
Artinya : “Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.
Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah yang lebih takwa di antara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Teliti”.[17]
Dalam
kaitannya dengan konsep tauhid, maka hakikat manusia dan fungsinya sebagai ‘abd
dan khalifah dan kesatuan aktualisasi berbagai unsur yaitu jasad, hayat dan ruh
yang membentuknya pada tahapan diri atau nafs yang aktual. Dengan kata lain,
manusia hakikatnya adalah monodualis dan monopluralis yang aktual, dinamis,
untuk mewujudkan karya kesalehan di muka bumi, sebagai jalan pengabdiannya
kepada Tuhan.[18]
Khalifah
berarti pengganti, penguasa, pengelola atau pemakmur. Selaku khalifah manusia
tidak boleh mengakibatkan keserasian hidupnya berdampingan dengan alam semesta
sebagai ekosistem. Manusia memang tidak bisa hidup sendirian. Ia memerlukan
bekal hidup yang disumbangkan oleh lain karena memang ekosistem segala makhluk
itu diperuntukkan bagi kehidupan manusia. Al-Qur’an 45: 13 menyatakan : “Dan Dia menundukkan untukmu apa yang
ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai rahmat) daripada-Nya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan
Allah bagi kaum yang berpikir” (Q.S. 45: 13).[19]
Dalam
Ensiklopedi Al-Qur’an disebutkan bahwa kata khalifah disebut dalam Al-Qur’an
pada dua konteks. Pertama, dalam konteks pembicaraan tentang Nabi Adam a.s.
(Q.S. Al-Baqarah: 30). Konteks ayat ini menunjukkan bahwa manusia dijadikan
khalifah di atas bumi ini bertugas memakmurkannya atau membangunnya sesuai
dengan konsep yang ditetapkan Allah sebagai yang menugaskannya. Dan kedua,
dalam konteks pembicaraan tentang Nabi Daud a.s. (Q.S. Shad: 26). Konteks ayat
ini menunjukkan bahwa Daud menjadi khalifah yang diberi tugas untuk mengelola
wilayah yang terbatas. Melihat penggunaan kata khalifah dalam kedua ayat
tersebut, dapat dipahami bahwa kata ini di dalam Al-Qur’an menunjuk kepada yang
diberi kekuasaan untuk mengelola satu wilayah di bumi. Di dalam konteks ini
Adam diberi kekuasaan mengelola wilayah yang luas. Sedangkan Nabi Daud diberi
kekuasaan mengelola wilayah yang terbatas, yaitu negara Palestina. Dalam
mengelola wilayah kekuasaan itu, seorang khalifah tidak boleh berbuat
sewenang-wenang atau mengikuti hawa nafsunya (Q.S. Shad: 26 dan Q.S. Thaha:
16).
Konsep
khalifah dalam Islam menempati prinsip utama, dimana manusia sebagai makhluk
Tuhan memiliki fungsi dan peran sebagai seorang pemimpin. Dalam istilah
manajemen, manusia dengan demikian diciptakan Tuhan menjadi seorang manajer
yang memiliki kemampuan, keahlian, dan keterampilan dalam mengelola dan
mengatur sumber daya alam dan potensi yang dimilikinya.
3.
Tanggung Jawab Manusia
dalam Menjalankan Kekhalifahan
Manusia
yang berkualitas ialah mereka yang mampu menjalankan peranannya sebagai
khalifah Allah di muka bumi ini. Persaingan antara manusia di dalam hidup ini
akan menumbuhkan di tengah-tengah kemanusiaan ini sekelompok umat yang memang
pantas mendapatkan anugerah dari Allah berupa maghfirah-Nya disertai ganjaran yang
berupa keridhaan-Nya serta jannatun na’im, hidup kekal di sisi-Nya. Hal
inilah kiranya yang tidak dapat dipahami oleh para malaikat, sehingga mereka
menyatakan keprihatinan mereka pada waktu Adam akan dijadikan Allah. [20]
Artinya : “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para
Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah)
di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan
Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui." (Q.S. Al-Baqarah: 30).[21]
Manusia
memiliki tugas dan tanggung jawab besar dalam kehidupan di dunia ini. Seorang
manusia, selain memiliki citra diri sebagai hamba Allah, juga memiliki jabatan
ilahiah sebagai khalifatullah, sang pengganti Allah dalam mengurusi seluruh
alam. Tugas dan tanggung jawab itu merupakan tugas dan amanat ketuhanan yang
sungguh besar dan berat. Oleh karena itu, semua yang ada di langit dan bumi
menolak amanat yang sebelumnya telah Allah SWT tawarkan kepada mereka karena
esensi amanat itu sangat besar dan luas, serta sungguh berat untuk
dilaksanakan. Akan tetapi seorang manusia berani menerima amanat itu. Padahal
ia memiliki potensi untuk mengingkari amanat itu.
“Sesungguhnya
Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya
enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah
amanat itu oleh manusia, sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”
(Q.S. Al-Ahzab [33]: 72).
Ibnu
Abbas RA dalam tafsirnya menjelaskan ayat di atas bahwa amanat itu adalah ketaatan
dan penghambaan atau ketekunan beribadah. Mereka enggan menerima amanat itu
karena tidak mau mengambil resiko berupa dosa dan hukuman. Tetapi manusia,
yaitu Adam, bersedia menerima kedua resiko itu.
Muhammad
Ali Ash-Shabuny mengartikan amanat itu sebagai kewajiban-kewajiban dan
pembebanan hukum syara’ kepada langit, bumi dan gunung-gunung. Namun mereka
khawatir untuk menanggungnya karena hal itu merupakan tugas dan tanggung jawab
yang berat dan keras.
Telah
menjadi takdir-Nya bagi seorang manusia, suka atau tidak suka, ingin atau tidak
ingin, manusia harus menerima dan menjalankan tugas dan tanggung jawabnya di
muka bumi dan alam ini sebagai manifestasi dari titah amanat yang telah
diterima secara turun-temurun sejak Nabi Adam AS, ia mendapat titel sebagai
khalifah-Nya dengan segala fasilitas keinsanan dan ketuhanan yang sempurna dan
lengkap, yang telah Allah jadikan dalam proses kejadiannya dengan bentuk dan
penampilannya yang baik.[22]
Dalam
ayat ini, Allah menegaskan maksud-Nya menciptakan manusia, yaitu untuk menjadi
khalifah atau wakil-Nya mengurus dunia ini, namun malaikat menyatakan
ketidaksetujuan mereka dengan alasan bahwa manusia akan suka berperang dan
bunuh membunuh sesama mereka. Apa yang dikatakan malaikat ini memang ternyata
sesuai dengan tabiat manusia yang telah diterangkan di atas, tetapi dengan
sifat-sifat manusia itu. Manusia dapat pula berkembang melalui proses
pertumbuhan yang terus menerus mencapai kesempurnaan. Perselisihan antar
manusia adalah akibat yang tak dapat tidak mesti berlaku karena adanya kebebasan
untuk menentukan pilihan. Namun dengan perselisihan ini pula manusia berproses
untuk maju. Oleh karena itulah Nabi pun dikirim Allah ke bumi ini tidak hanya
sekali dua kali, tapi sampai dua ratus ribu kali yang berakhir di antara para
nabi ini ialah Nabi Muhammad SAW. Sebagai pembawa konsep sistem nilai terpadu
yang telah lengkap bagi kebutuhan manusia untuk berproses mencapai titik
kulminasi kesempurnaan budaya pada akhir zaman nanti. Ini pula sebab maka
keaslian Al-Qur’an telah dijamin Allah sampai ke akhir zaman sebagaimana
ditegaskan Allah SWT:
Artinya : “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al
Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (Q.S. Al-Hijr: 9).[23]
Allah
telah menakdirkan manusia untuk menjaga kekhalifahan (manajer)-Nya di muka bumi.
Sebagai khalifah Allah, seyogianyalah manusia akan mengelola bumi ini sesuai
dengan kehendak yang mengangkatnya. Rasul Allah telah berpesan agar manusia mempunyai
akhlak yang sama dengan akhlak Allah. [24]
Allah
menegaskan bahwa manusia dijadikan-Nya di muka bumi agar manusia memakmurkan
bumi ini.
... uqèd Nä.r't±Rr& z`ÏiB ÇÚöF{$# óOä.tyJ÷ètGó$#ur $pkÏù ...
Artinya : “... Dia (Allah) yang telah menjadikan
kamu daripada bumi agar kamu memakmurkannya ...” (Q.S. Hud: 61).[25]
Sebagai
khalifah atau manajer Allah di muka bumi, manusia sepantasnyalah berkiprah
sesuai dengan kehendak Allah SWT. Misi manusia dalam hidup ini sebagaimana yang
ditegaskan Allah dalam ayat tersebut ialah memakmurkan bumi. Tugas ini
dilakukan manusia bukan untuk Allah, tapi demi kepentingan manusia sebagai
hamba-hamba-Nya. Untuk melaksanakan misi itu, manusia telah diperlengkapi
dengan potensi untuk memahami sunnatullah yang mengatur alam atau ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dengan pengetahuan akan sunnatullah ini manusia akan
dapat memakmurkan bumi sesuai dengan kehendak Allah serta menghayati
sifat-sifat Allah dengan mengelola alam ini dengan sebaik-baiknya. Inilah yang
dimaksud dengan “beriman dan beramal shalih”.
Adapun
akhlak Allah itu tertera di dalam Al-Qur’an sebagai asma al-husna.
Nama-nama Allah yang indah ini merupakan attribute (sifat) atau akhlak Allah,
dan sebagai makhluk Allah manusia perlu meniru sifat-sifat itu. Walaupun dalam
ukuran mini (kecil). Dengan akhlak yang mulia (akhlaq ulkariimah) ini
manusia akan berkelayakan untuk menjadi khalifah-Nya di bumi, sesuai dengan
tujuan Allah menciptakan manusia. Untuk melaksanakan misi pengelolaan alam ini,
Allah telah mengirimkan lebih dari dua ratus ribu nabi dan rasul sebagai
teladan manusia. Muhammad SAW sebagai Rasul Allah terakhir telah dibekali
dengan kitab suci yang lengkap dan sempurna serta terpelihara keasliannya
sebagai rujukan utama bagi manusia yang menginginkan kejayaan hidup mereka di
dunia ini.
Dengan
meyakini kesempurnaan dan keaslian Al-Qur’an ini setiap muslim tidak akan rugi
lagi mengikuti sunnah Allah yang tertera di dalamnya. Dengan keyakinan yang
bulat ini manusia muslim akan dapat berproses menuju kesempurnaan kemanusiaannya
dengan langkah yang lebih cepat dari mereka yang nonmuslim. Jika kenyataan pada
saat ini kaum muslimin belum mampu mengejar langkah mereka yang tidak Islam,
maka itulah bukti yang paling nyata bahwa mereka yang mengaku muslim pada saat
ini belum menghayati pesan-pesan Allah dalam Al-Qur’an itu, suatu kenyataan
yang sangat ironis, dan inilah yang menyebabkan Rasul Allah nanti di hari
kebangkitan akan mengadukan sedihnya kepada Allah :[26]
Artinya : “Berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, sesungguhnya
kaumku menjadikan Al-Qur’an itu sesuatu yang ditinggalkan (diabaikan)”
(Q.S. Al-Furqan: 30).[27]
Maka,
dapatlah disimpulkan berdasarkan uraian dan penegasan ayat-ayat Allah tersebut
di atas bahwa kekhalifahan manusia itu merupakan potensi yang perlu
dikembangkan oleh manusia dengan jalan mensyukurinya. Oleh karena itu, perlu
kita tekankan kembali bahwa bersyukur itu adalah kewajiban setiap muslim yang
paling penting dan paling utama, sehingga alternatif satu-satunya bagi
seseorang yang tak mau bersyukur ialah kufur. Adapun mereka yang betul-betul
bersyukur atas nikmat-nikmat Allah maka mereka akan menjadi khalifah sesungguhnya di dunia ini sebagaimana dijanjikan
Allah kepada mereka dalam surah An-Nuur ayat 55:[28]
Artinya : “Dan Allah telah berjanji kepada
orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh
bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi,
sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan
sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk
mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam
ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada
mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir
sesudah (janji) itu, maka mereka Itulah orang-orang yang fasik” (Q.S. An-Nuur:
55).[29]
Dalam
ayat ini jelas kelihatan bahwa satu-satunya cara mensyukuri nikmat Allah itu
ialah dengan beriman kepada Allah dan beramal shalih. Jika dihubungkan apa yang
dikatakan ayat ini dengan kupasan dalam bab tentang sunnatullah yang
menerangkan arti amal shalih, maka dapatlah dipahami dengan tepat bahwa
penguasaan IPTEK merupakan syarat mutlak untuk dapat menjadi khalifah Allah
yang betul-betul memenuhi misi manusia diciptakan di muka bumi ini. Apa yang
kita lihat di dunia ini pun di dalam sejarah manusia ternyata bahwa
kelompok-kelompok manusia atau bangsa yang mampu menguasai IPTEK-lah yang mampu
menjadi super power dalam arti yang sebenarnya. Oleh karena itu, kita wajib
menggalakkan usaha peningkatan kemampuan menguasai asmaa kulaha ini
sesuai dengan misi kita sebagai umat Muhammad yang telah diciptakan seyogianya
sebagai khalifah, bahkan ummatan washatin (bangsa para wasiat).[30]
B.
Sikap
Keberagamaan
1.
Pengertian
Sikap Keberagamaan
Sikap
keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorong
sisi orang untuk bertingkah laku yang berkaitan dengan agama. Sikap
keberagamaan terbentuk karena adanya konsistensi antara kepercayaan terhadap
agama sebagai komponen kognitif, perasaan terhadap agama sebagai komponen efektif
dan perilaku terhadap agama sebagai komponen kognatif. Di dalam sikap keagamaan
antara komponen kognitif, efektif dan kognatif saling berintegrasi sesamanya
secara kompleks.
Pendidikan
agama yang bersifat dressur dan menggugah akal serta perasaan memegang peranan
penting dalam pembentukan sikap keagamaan.
Kalau
kita amati seksama keadaan bayi pada saat lahirkan, maka akan kita saksikan,
bahwa mereka dalam keadaan yang sangat lemah, dan serba tidak berdaya. Hampir
seluruh hidup dan kehidupannya, hanya menggantungkan diri kepada orang lain.
Mereka sangat memerlukan pertolongan dan bantuan dalam segala hal. kalau
seandainya anak tersebut tidak diberi minum atau makan oleh ibunya maka ia
pasti akan mati. Demikian pula kalau dia tidak diberi bimbingan atau
pendidikan, baik pendidikan jasmani maupun pendidikan rohani yang berupa
pendidikan intelek, susila, sosial, agama dan lain-lain, maka anak tersebut
tidak akan dapat berbuat sesuatu. Dalam kaitannya dengan uraian di atas, maka tepat
sekali apa yang dikemukakan oleh Emmanuel Kant bahwa manusia dapat menjadi
manusia karena pendidikan.
Pernyataan
tersebut mengandung pengertian, bahwa bilamana anak tidak mendapat pendidikan,
maka mereka tidak akan sempurna hidupnya dan tidak akan dapat memenuhi
fungsinya sebagai manusia yang berguna dalam hidup dan kehidupannya. Dengan
kata lain hanya pendidikanlah yang dapat memanusiakan dan membudayakan manusia.
Agama
merupakan kebutuhan manusia terhadap pedoman hidup yang dapat menunjukkan jalan
ke arah kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Seperti yang disebutkan dalam
Al-Qur’an surat Ar-Rum ayat 30 itu, manusia sejak lahir sudah membawa fitrah
beragama. Karena adanya fitrah beragama itu maka manusia disebut homo divinas
(makhluk berketuhanan) atau juga disebut homo religius (makhluk beragama)
karena dengan adanya agama maka manusia akan mendapat ketenangan lahir dan
batin.[31]
Mc.
Nair dan Brown (1983) dalam penelitiannya menemukan bahwa dukungan orang tua
berhubungan secara signifikan dengan sikap siswa. Begitu juga Zakiah Daradjat
(1988) mengatakan bahwa sikap keagamaan merupakan perolehan dan bukan bawaan.
Ia terbentuk melalui pengalaman langsung yang terjadi dalam hubungannya dengan
unsur-unsur lingkungan materi dan sosial, misalnya rumah tenteram, orang
tertentu, teman orang tua, jamaah dan sebagainya.
2.
Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Sikap Keberagamaan
Menurut
Siti Partini, pembentukan dan perubahan sikap dipengaruhi oleh dua faktor,
yaitu:
a.
Faktor internal,
berupa kemampuan menyeleksi dan mengolah atau menganalisis pengaruh yang datang
dari luar, termasuk di sini minat dan perhatian.
b.
Faktor eksternal,
berupa faktor di luar dari individu yaitu pengaruh lingkungan yang diterima.
Dengan
demikian walaupun sikap keagamaan bukan merupakan bawaan akan tetapi dalam
pembentukan dan perubahannya ditentukan oleh faktor internal dan faktor
eksternal individu.
Pembentukan
sikap keagamaan ini sangat erat kaitannya dengan perkembangan agama, sikap
fanatis, sikap toleran, sikap pesimis, sikap optimis, sikap tradisional, sikap
modern, sikap fatalisme dan sikap free will dalam beragama banyak
menimbulkan dampak negatif dan dampak positif dalam meningkatkan kehidupan
individu dan masyarakat dalam beragama.[32]
Menurut
beberapa ahli, anak dilahirkan bukanlah sebagai makhluk yang religius. Anak
yang baru dilahirkan lebih mirip binatang, bahkan mereka mengatakan anak seekor
kera lebih bersifat kemanusiaan daripada bayi manusia itu sendiri. Selain itu
ada pula yang berpendapat sebaliknya, bahwa anak sejak dilahirkan telah membawa
fitrah keagamaan. Fitrah itu baru berfungsi di kemudian hari melalui proses
bimbingan dan latihan setelah berada pada tahap kematangan.
Menurut
tinjauan, pendapat pertama bayi dianggap sebagai manusia dipandang dari segi
bentuk dan bukan kejiwaan. Apabila bakat elementer bayi lambat bertumbuh dan
matang, maka agak sukarlah untuk melihat adanya keagamaan pada dirinya.
Meskipun demikian ada yang berpendapat bahwa tanda-tanda keagamaan pada dirinya
tumbuh terjalin secara integral dengan perkembangan fungsi-fungsi kejiwaan
lainnya.
Menurut
penelitian Ernest Harms yang dikutip oleh Ramayulis menyatakan perkembangan anak-anak
itu melalui beberapa fase (tingkatan). Dalam bukunya The Development of
Religious on Childen, ia mengatakan bahwa perkembangan agama pada anak-anak
itu melalui tiga tingkatan, yaitu:
a.
The fairy tale
stage (tingkat dongeng)
Tingkatan
ini dimulai pada anak-anak yang berusia 3-6 tahun. Pada tingkat ini konsep
mengenal Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada tingkat
perkembangan intelektualnya. Kehidupan masa ini masih banyak dipengaruhi kehidupan
fantasi, hingga dalam menanggapi agama pun anak masih menggunakan konsep
fantastis yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal.
b.
The realistic stage (tingkat kenyataan)
Tingkat
ini dimulai sejak anak mulai masuk sekolah dasar hingga ke usia (masa usia) adolescence. Pada masa ini, ide ketuhanan anak sudah mencerminkan
konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realitas). Konsep ini timbul melalui
lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada
masa ini ide keagamaan anak didasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka dapat
melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Berdasarkan hal itu, maka pada masa ini
anak-anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan yang mereka lihat dikelola
oleh orang dewasa dan lingkungan mereka. Segala bentuk tindak (amal) keagamaan
mereka ikuti dan pelajari dengan penuh minat.
c.
The individual
stage (tingkat individu)
Pada
tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan
dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang individualistis ini
terbagi atas tiga golongan, yaitu:
1)
Konsep ketuhanan yang
konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal
tersebut disebabkan oleh pengaruh luar.
2)
Konsep ketuhanan yang
lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal
(perorangan).
3)
Konsep ketuhanan yang
bersifat humanistik. Agama telah menjadi etos humanis pada diri mereka dalam
menghayati ajaran agama. Perubahan ini setiap tingkatan dipengaruhi oleh faktor
intern. Yaitu perkembangan usia dan faktor ekstern berupa pengaruh luar yang di
dalamnya.
Sebagai
makhluk ciptaan Tuhan, sebenarnya potensi agama sudah ada pada setiap manusia sejak
ia dilahirkan. Potensi ini berupa dorongan untuk mengabdi kepada sang pencipta.
Dalam terminologi Islam dorongan ini dikenal dengan hidayat al-diniyyat
berupa benih-benih keberagamaan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Dengan
adanya potensi bawaan ini manusia pada hakikatnya adalah makhluk beragama.[33]
Memahami
konsep keagamaan pada anak berarti memahami sifat agama pada anak-anak, sesuai
dengan ciri yang mereka miliki, maka sifat agama pada anak-anak tumbuh mengikuti
pola ideas concept on authority, idea keagamaan pada anak hampir
sepenuhnya. Authoritarius, maksudnya konsep keagamaan pada diri mereka
dipengaruhi oleh unsur dari luar diri mereka. Hal tersebut dapat dimengerti
karena anak-anak usia muda telah melihat, mempelajari hal-hal yang berada di
luar diri mereka. Mereka telah dan mengikuti apa-apa yang dikerjakan dan
diajarkan orang dewasa, dan orang tua mereka tentang sesuatu hingga masalah
agama. Dan orang tua mereka tentang sesuatu hingga masalah agama. Orang tua
mempunyai pengaruh terhadap anak sesuai dengan prinsip eksplorasi yang mereka
miliki. Dengan demikian ketaatan sebagai ajaran agama merupakan kebiasaan yang
menjadi milik mereka yang mereka pelajari dari para orang tua maupun guru
mereka. Bagi mereka sangat mudah untuk menerima ajaran dari orang dewasa
walaupun ajaran itu belum mereka sadari sepenuhnya manfaat ajaran tersebut.[34]
3.
Menumbuhkan
Sikap Keberagamaan Anak
Menurut
dr. Farah Idris, setiap anak dilahirkan dengan potensi beragama. Potensi ini
dapat dilihat saat anak memasuki usia 3-5 tahun yang ditandai dengan pelbagai
pertanyaan kritis terhadap apa yang dilihat dan didengar. Pertanyaan tersebut
bersifat kritis tanpa disadari oleh orang tuanya. Misalnya anak bertanya siapa
yang menciptakan manusia dan hewan, di mana dan siapa Allah, mengapa manusia
disuruh shalat. Potensi beragama tersebut tergambar jelas dalam sabda Nabi SAW,
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, kedua orang tualah yang membuat
mereka menjadi Yahudi, Nasrani dan Majusi”. Hadits tersebut menegaskan pula pentingnya
peran orang tua untuk mengarahkan fitrah, dengan demikian menanamkan
nilai-nilai agama pada usia dini sangat berpengaruh dalam menentukan masa depan
anak.
Menanamkan
nilai-nilai agama pada anak usia dini merupakan langkah awal menumbuhkan sifat,
sikap dan perilaku keagamaan seseorang pada masa perkembangan berikutnya. Pada
masa anak, karakter dasar dibentuk baik yang bersumber dari fungsi otak,
emosional maupun religiusnya. Fase usia dini merupakan masa terbaik untuk
menanamkan rasa agama pada anak. Pada masa ini perkembangan kesadaran beragama
masih pada tingkatan unrefictif (kurang mendalam) yang lebih banyak
dipengaruhi oleh fantasi atau emosi dan imitatif (meniru) dari apa yang dilihat
dan didengarnya. Secara spesifik kesadaran beragama pada anak usia dini
ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut :
a.
Sikap keagamaan bersifat
reseptif meskipun sudah banyak bertanya. Artinya anak akan menerima segala
ajaran dan nilai-nilai agama yang diberikan oleh orang tua atau pendidikannya
karena rasa ingin tahu yang mulai tumbuh. Anak akan selalu bertanya terhadap
apa yang dilihat dan didengar dari perilaku dan ucapan orang-orang di
sekitarnya. Penjelasan yang benar dan mudah diterima oleh anak sangat
mempengaruhi pemahaman dan kesadaran agama di kemudian hari.
b.
Pandangan ketuhanannya
bersifat anthropomorphis (dipersonifikasikan)
dan ideosyncritic (menurut khayalan). Artinya dalam memahami konsep
Tuhan atau dalam menggambarkan Tuhan selalu diidentikkan dengan makhluk yang
dilihatnya. Khayalan yang ada dalam pikiran anak lebih bersifat emosional. Pada
masa ini anak belum bisa menerima konsep-konsep yang bersifat abstrak atau
tidak terlihat.
c.
Penghayatan secara ruhaniah
masih superficial (belum mendalam atau ikut-ikutan), artinya dalam
menjalankan perintah keagamaan sekedar partisipatif, meniru dan ikut-ikutan
tanpa disadari penghayatan ruhaniahnya atau batiniahnya. Sering kali kita lihat
anak-anak mengaji dan shalat berjamaah di masjid dengan main-main, berlari-lari,
atau bercanda dengan temannya. Hal ini disebabkan pada masa ini belum
berkembang perasaan keberagamaan seperti rasa rendah hati, syukur, khusyu’,
atau takut terhadap azab Allah.
Untuk
menanamkan nilai-nilai agama pada anak usia dini harus disesuaikan dengan
tingkat perkembangan kesadaran beragamanya. Tingkat kesadaran agama atau
keimanan anak masih pada tingkat stimulus response verbalisme (respons
di bibir saja). Maka metode yang bisa diterapkan dalam nilai-nilai agama pada
anak usia dini yang utama adalah pengondisian lingkungan yang mendukung
terwujudnya nilai-nilai agama pada diri anak, diantaranya melalui:
a.
Peneladanan atau suri
teladan orang tua dan orang di sekitarnya. Ini merupakan kunci utama dalam
menanamkan sikap keberagamaan pada anak-anak, mengingat perilaku keagamaan yang
dilakukan anak pada dasarnya adalah imitatif (meniru), baik berupa pembiasaan
maupun pengajaran yang intensif. Tidak shalat misalnya, mereka peroleh dari
lingkungan yang sering mereka lihat. Anak cenderung melakukan apa yang dia
lihat dan dia benar. Selain itu peneladanan sikap saling menghormati dan
menyayangi sesama juga perlu dilakukan.
b.
Otoritas atau doktrin
sesuai dengan perkembangan rasa ingin tahu yang tinggi, maka proses pembelajaran
tentang doktrin-doktrin atau dasar-dasar agama sudah harus mulai ditanamkan
untuk mengisi kekosongan pengetahuan agama sekaligus sebagai benteng sebelum
terisi oleh pengetahuan-pengetahuan lain yang justru akan merusak aqidah dan
akhlak.
c.
Sugesti atau hadiah
dan hukuman. Anak cenderung mengulang perkataan atau perbuatannya (dalam hal
keagamaan atau ibadah) apabila mendapatkan hadiah atau pujian akan tidak
mengulangi perbuatan atau kata-katanya apabila dicela atau mendapat hukuman.
d.
Dorongan sosial, ini
perlu ditanamkan pada masa kanak-kanak karena pada dasarnya implementasi agama
tidak semata untuk diri sendiri tapi lebih luas adalah untuk kemaslahatan umat,
maka perlu adanya sikap menghargai pendapat anak, memberikan kebebasan
berkreasi, dan memberikan waktu bersosialisasi dengan teman-temannya untuk
mengembangkan nilai-nilai agama yang diperolehnya.
Pengondisian
lingkungan yang mendukung terwujudnya nilai-nilai agama pada diri anak harus
dimulai dari lingkungan terkecil yaitu keluarga. Keluarga merupakan lingkungan pertama
dimana anak memperoleh segala pengetahuan dan mengenal adanya interaksi sosial
(hubungan antara ayah, ibu dan anak). Rasa ketergantungan anak pada orang tua
dan orang yang lebih dewasa sangat besar, sehingga peran orang tua atau orang
yang lebih dewasa sangat penting dalam pendidikan agama pada usia tersebut.[35]
Agama
berperan penting bagi perkembangan moral anak. Untuk itu, menanamkan agama pada
anak sejak dini sangat penting. Anak juga akan memahami agama yang dipeluknya
dengan jelas. Pendidikan agama juga sangat penting karena bisa menumbuhkan sikap
ideal agar bisa bekerja sama dengan agama atau keyakinan yang lain. Dalam
cakupan pergaulan dengan bermacam-macam ideologi dan pandangan mengenai dunia.
Pendidikan agama bagi anak menjadi agen yang akan mempersiapkan anak untuk
memasuki dialog tentang prinsip-prinsip kehidupannya sendiri secara terbuka, kelak
ketika mereka semakin dewasa. Selain mengajarkan konsep beragama, anak juga
harus dikenalkan dengan hak kebebasan beragama. Orang tua sebenarnya berhak
menentukan apakah, di manakah, dalam agama apakah anak mereka boleh diberi
pelajaran agama. Namun hak asasi orang tua juga memuat hak agar anak mereka
tidak diberi pelajaran agama yang tidak dikehendaki. Bukan hanya sekolah
negeri, tetapi juga di sekolah swasta. Misalnya, sekolah Katolik berhak hanya
menawarkan pelajaran agama Katolik. Sekolah Muhammadiyah berhak hanya
menawarkan agama Islam. Tetapi yang paling penting adalah di mana anak menganut
agama yang berbeda tidak berhak mewajibkan murid-muridnya yang bukan seagama
untuk ikut pelajaran agama yang berbeda tersebut. Begitu pula di sekolah Islam,
sekolah tidak berhak mewajibkan murid bukan Islam untuk ikut pelajaran Islam.[36]
[1]
Prof. DR. Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2005, cetakan I, hal. 41.
[2]
Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H., dkk., Al-Qur’an Terjemah, CV. Atlas,
Jakarta, 1998, hal. 615.
[3]
Prof. DR. H. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia,
Jakarta, 2004, cet. IV, hal. 278-279.
[4]
Dr. Muh. Midayeli, M.Ag., Teori-teori Pengembangan Sumber Daya Manusia,
Program Pascasarjana UIN Suska Riau, Riau, 2007, cet. I, hal. 14-17.
[5]
Dr. Armai Arief, M.A., Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam,
Ciputat Press, Jakarta, 2002, cet. I, hal. 7-8.
[6]
Imam Abu Al-Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi, Shahih Muslim,
Juz II, Darul Fikr, Bairut, Libanon, hal. 556.
[7]
Dr. Armai Arief, M.A., Op. Cit., hal. 8.
[8]
Prof. Dr. H. Musa Asy’ari, Filsafat Islam, Lesfi, Yogyakarta,
2008, cet. IV, hal. 236.
[9]
Dra. Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara,
Jakarta, 2008, cet. IV, hal. 71.
[10]
Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H., dkk., Op. Cit., hal. 393.
[11]
Dra. Zuhairini, dkk., Op. Cit.
[12]
Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H., dkk., Op. Cit., hal. 661.
[13]
Dra. Zuhairini, dkk., Op. Cit., hal. 71.
[14]
Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H., dkk., Op. Cit., hal. 1075.
[15]
Dra. Zuhairini, dkk., Op. Cit., hal. 78.
[16]
Prof. Dr. H. Musa Asy’arie, Filsafat Pendidikan Islam, Lesfi,
Yogyakarta, 2008, cet. IV, hal. 248-249.
[17]
Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H., dkk., Op. Cit., hal. 847.
[18]
Drs. A. Kaelany HD, M.A., Islam dan Aspek-aspek Kemasyarakatan,
Bumi Aksara, Jakarta, 2005, cet. II, hal. 9.
[19]
Prof. Dr. H. Nizar Ali, M.A. dan Ibi Syahbi, M.Si., Manajemen Pendidikan
Islam, Pustaka Isfaham, Bekasi, 2009, cet. I, hal. 170.
[20]
Dr. Ir. Muhammad Imadudin ‘Abdulrahim, M.Sc., Islam Sistem Nilai Terpadu,
Gema Insani Press, Jakarta, 2002, cet. I, hal. 125.
[21]
Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H., dkk., Op. Cit., hal. 13.
[22]
Drs. Prasetya, Filsafat Pendidikan, Pustaka Setia, Bandung, 1997,
cet. 1.
[23]
Ibid, hal. 391.
[24]
DR. Ir. Muhammad Imadudin, Op. Cit.
[25]
Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H., dkk., Op. Cit., hal. 336.
[26]
DR. Ir. Muhammad Imadudin, Op. Cit.
[27]
Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H., dkk., Op. Cit., hal. 564.
[28]
DR. Ir. Muhammad ‘Imadudin, Op. Cit., hal.
[29]
Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H., dkk., Op. Cit., hal. 553-554.
[30]
DR. IR. Muhammad ‘Imadudin, Op. Cit., hal.
[31]
Dra. Zuhairini, dkk., Op. Cit., hal. 93-97.
[32]
Prof. Dr. H. Ramayulis, Psikologi Agama, Kalam Mulia, Jakarta,
cet. VIII, 2007, hal. 97-98.
[33]
Prof. Dr. H. Jalaludin, Psikologi Agama, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2005, hal. 64-67.
[34]
Prof. Dr. H. Ramayulis, Op. Cit., hal. 53-54.
[35]
http://majalahmadinah.blogspot.com, 9 Mei 2010.
[36]
http://lifestyle.okezone.com, 9 Mei 2010.
No comments:
Post a Comment