Friday, 15 June 2012

Konsep SIkap Keberagaman Anak


KONSEP FITRAH DALAM PEMBENTUKAN
SIKAP KEBERAGAMAAN ANAK

A.    Konsep Fitrah
1.      Pengertian Fitrah
Fitrah berasal dari kata fathara yang sepadan dengan kata khalaqa dan ansyaa yang artinya mencipta. Biasanya kata fathara, khalaqa dan ansyaa digunakan dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan pengertian mencipta sesuatu yang sebelumnya belum ada dan masih merupakan pola dasar (blue print) yang perlu penyempurnaan. Kata-kata yang biasa digunakan dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan bahwa Allah menyempurnakan pola dasar ciptaan Allah atau melengkapi penciptaan itu adalah kata ja’ala yang artinya menjadikan yang diletakkan dalam satu ayat setelah kata khalaqa dan ansyaa. Perwujudan dan penyempurnaan selanjutnya diserahkan pada manusia.[1]
Al-Qur’an menjelaskan tentang penciptaan manusia menurut fitrah. Firman Allah SWT:
Artinya :    Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya ...” (Q.S. Ar-Rum: 30).[2]

Para ulama berbeda pendapat tentang makna fitrah sebagai berikut :
a.       Fitrah berarti suci (al-thuhr).
b.      Fitrah berarti tulus dan murni (al-ikhlas).
c.       Fitrah berarti agama Islam (al-millat al-Islam).
d.      Fitrah berarti ke-Esa-an Allah (al-tauhid).
e.       Fitrah berarti tabiat asli manusia (al-tabi’iy al-insany).
f.       Fitrah berarti penciptaan mengenai kebahagiaan dan kesengsaraan (al-sa’idan wa al-sagiyah).
g.      Fitrah berarti potensi untuk mengabdi dan ma’rifat kepada Allah.
h.      Fitrah berarti kesanggupan untuk menerima kebenaran (isti’dad fi al-baq).
Beberapa makna nasabi tersebut merupakan penafsiran dari Q.S. Ar-Rum ayat 30. Kedelapan makna fitrah tersebut dapat disebut sebagai potensi dasar manusia. Artinya, setiap manusia memiliki beberapa potensi itu, dan ia diberi kebebasan untuk mengembangkan potensi mana yang ia sukai.
Ibnu Khaldun, umpamanya, mencoba untuk mengedepankan bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki potensi. Diantaranya adalah pada dimensi rasionalitas-intelektual. Ini terlihat dari pandangannya bahwa pengetahuan dan memberi pelajaran interaksi edukatif merupakan pembawaan tabiat bagi masyarakat manusia. Hal ini disebabkan karena kemampuannya untuk berpikir. Dengan potensi akalnya, manusia mampu mengerti, memahami, menggambarkan sebab akibat  sesuatu gejala, yang kemudian mencari alternatif sebagai upaya mempertahankan kehidupannya. Dengan kemampuan akalnya, manusia mampu untuk berkreasi dan berbudaya secara dinamis.[3]
Para filosuf pada umumnya telah berbeda-beda dalam memandang esensi manusia, yang sekaligus juga akan menunjuk berbagai perkembangan pemikiran dalam dunia filsafat itu sendiri. Plato umpamanya, ia memandang manusia sebagai suatu pribadi yang tidak terbatas pada saat bersatunya jiwa dengan raga. Jiwa dan raga diciptakan secara bersamaan. Jiwa telah ada jauh sebelum ia muncul ke dunia, sehingga ada yang berpendapat bahwa yang disebut manusia secara esensial adalah jiwa itu sendiri.
Aristoteles dan para pengikutnya telah pula merumuskan pemikirannya yang cerdas dari analisis panjangnya tentang manusia. Dalam tesisnya ia mengungkapkan bahwa manusia adalah makhluk organis yang fungsionalisasinya tergantung pada jiwanya.
Rene Descartes (w. 1650 M) seorang tokoh rasionalisme menjelaskan bahwa jiwa adalah terpadu, rasional dan konsisten yang dalam aktivitasnya selalu terjadi interaksi dengan tubuh.
Ibnu Maskawaih, seorang filsuf Muslim klasik, dalam buku Tahzib al-Akhlak-nya menyebutkan, bahwa manusia merupakan kombinasi dua substansi yang secara diametrik bertenangan baik esensi, kualitas maupun di segi fungsinya, yakni jiwa dan raga. Jiwa adalah substansi spiritual, murni, simpel, tidak dapat dilihat dan bersifat abadi, sedangkan raga adalah substansi material yang bersifat sementara.
Ibn Maskawaih mengakui bahwa esensi kemanusiaan yang sesungguhnya berada pada jiwa, namun tubuh dalam hal ini dapat mempengaruhi jiwa dalam meraih kesempurnaannya. Eksistensi tubuh juga diperlukan manusia dalam meraih kemanusiaan, karena fungsinya yang dapat mempermudah kerja jiwa menuju penyempurnaannya.
Dalam konteks ini, Raghib al-Isfahani, seorang filsuf muslim klasik mengemukakan bahwa manusia tersusun dari unsur bahimah di satu sisi dan malakinya di sisi lainnya. Yang pertama merupakan syahwat badani yang biasanya terlihat dari aktivitas-aktivitas seperti makan, minum, nikah dan berbagai bentuk kelezatan badan lainnya. Manusia dalam kondisi ini akan seperti binatang apabila eksistensi benar-benar telah menguasai diri manusia.[4]
Timbulnya berbagai interpretasi “fitrah” di atas tidak terlepas dari sudut pandang masing-masing pakar dalam melihat kata “fitrah” tersebut. Namun yang jelas, dari berbagai interpretasi tentang kata “fitrah” memiliki persamaan yaitu adanya hubungan manusia dengan sang pencipta.
 Dalam kaitannya dengan teori kependidikan dapat dikatakan bahwa “fitrah” mengandung implikasi kependidikan yang berkonotasi kepada paham konvergen. Karena “fitrah” mengandung makna kejadian yang di dalamnya berisi potensi dasar beragama yang dan lurus (al-din al-qayyim) yaitu Islam. Namun lingkungan dasar ini bisa diubah oleh lingkungan sekitarnya.[5]
Kalau melihat hadits Nabi SAW yang berbunyi :
ما من مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصرانه أو يمجسانه (رواه مسلم)
Artinya : “Tidaklah anak itu dilahirkan kecuali atas dasar fitrah maka kedua orang tuanya menjadikan anak tersebut Yahudi, Nasrani ataupun Majusi ” (H.R. Abu Muslim).[6]

Dapat dipahami bahwa “fitrah” sebagai pembawaan sejak lahir biasa dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya, bahkan ia tak akan dapat berkembang sama sekali tanpa adanya pengaruh lingkungan tersebut. Sementara lingkungan itu sendiri dapat diubah bila tidak favorable (tidak menyenangkan karena tidak sesuai dengan cita-cita manusia).
Namun demikian, meskipun “fitrah” dapat dipengaruhi lingkungan, tetapi kondisinya tidaklah netral. Ia memiliki sifat yang dinamis, reaktif dan responsif terhadap pengaruh dari luar. Dengan istilah lain dalam proses perkembangannya terjadi interaksi (saling mempengaruhi) antara “fitrah” dan lingkungan sekitarnya, sampai akhir hayat manusia.[7]

2.      Hakikat Manusia
Manusia sebagai makhluk materi maka pertumbuhannya berproses dari materi juga. Sel telur dari ibu bergabung dengan sperma dari sang ayah, tumbuh menjadi janin, yang akhirnya ke dunia sebagai manusia. Adapun apa yang disebut ruh atau jiwa pikiran, perasaan (tanggapan, kemauan, kesadaran, ingatan, khayalan, asosiasi, penghayatan dan sebagainya) dari zat atau materi yaitu sel-sel tubuh. Oleh karena itu, manusia sebagai materi, maka keperluan-keperluannya juga bersifat materi, ia mendapatkan kebahagiaan, kesenangan dan sebagainya juga dari materi. Maka terbentuklah suatu sikap pandangan yang materialistis. Oleh karena itu, materi itu adanya di dunia ini, maka pandangan materialistis itu identik dengan pandangan hidup yang bersifat duniawi, sedangkan hal-hal yang bersifat ukhrawi (akhirat) dianggap sebagai khayalan belaka.
Dalam pembahasan mengenai hakikat manusia, maka persoalan yang paling baik adalah persoalan tentang ruh. Dalam proses penciptaan manusia seperti yang dibicarakan di atas, Al-Qur’an secara jelas menerangkan bahwa tubuh manusia dibentuk dari tanah, sedangkan daya hidup yang bersifat menggerakkan, tubuh dan berkembang dimulai dari air, sedangkan ruh yang menjadikan pendengaran, penglihatan dan hati nurani berfungsi, yaitu setelah ruh diberikan kepada manusia, dan ruh ini diberikan ditiupkan langsung dari Tuhan sendiri.[8]
Ruh adalah sesuatu yang tidak menempati ruang. Sehingga tak dapat disentuh atau dilihat oleh pancaindra. Jadi berlawanan dengan zat yang menempati ruang betapapun kecilnya zat itu.
Istilah-istilah lain dari ruh yang artinya hampir sama ialah jiwa, sukma, nyawa, semangat dan sebagainya. Materi hanyalah penjelmaan ruh. Fichtie berkata, “Bahwa segala sesuatu yang lain (selain dari ruh) yang rupanya ada dan hidup hanyalah suatu jenis, perumpamaan, perubahan atau penjelmaan dari pada ruh”.[9]
Dalil yang menunjukkan manusia berasal dari ruh Allah SWT adalah:
#sŒÎ*sù ¼çmçF÷ƒ§qy àM÷xÿtRur ÏmŠÏù `ÏB ÓÇrr (#qãès)sù ¼çms9 tûïÏÉf»y
Artinya : Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud” (Q.S. Al-Hijr: 29).[10]

Dasar pikiran dari aliran ini ialah bahwa ruh itu lebih berharga, lebih tinggi nilainya daripada materi. Hal ini dapat kita buktikan sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya seorang wanita atau seorang pria yang kita cintai, kita tak mau pisah dengannya. Tetapi kalau ruh dari wanita atau pria yang kita cintai tadi tidak ada pada badannya, berarti dia meninggal dunia, maka mau tak mau kita harus melepaskan dia untuk dikuburkan. Kecantikan, kejelitaan, kemolekan, kebagusan yang dimiliki oleh wanita atau pria tadi tak akan ada artinya tanpa ruh.
Meskipun badannya masih utuh, masih lengkap anggota badannya, tetapi kita mengatakan “dia sudah tidak ada, dia sudah pergi, dia sudah menghadap Tuhannya”. Demikian aliran ini menganggap bahwa ruh itu ialah hakikat, sedangkan badan adalah penjelmaan atau bayangannya saja.
Aliran dualisme mencoba untuk mengawinkan kedua aliran tersebut di atas. Aliran ini menganggap bahwa manusia itu pada hakikatnya terdiri dari dua substansi yaitu jasmani dan rohani, badan dan ruh. Kedua substansi ini masing-masing merupakan unsur asal yang adanya tidak tergantung satu sama lain jadi badan tidak berasal dari ruh juga sebaliknya ruh tidak berasal dari badan. Hanya dalam perwujudannya, manusia itu serba dua, jasad dan ruh. Yang keduanya berintegrasi membentuk yang disebut manusia. Antara badan dan ruh terjalin hubungan yang bersifat kausal, sebab akibat. Artinya antara keduanya saling pengaruh mempengaruhi. Apa yang terjadi di satu pihak akan mempengaruhi di pihak yang lain. Sebagai contoh, orang cacat jasmaninya akan berpengaruh pada perkembangan jiwanya. Sebaliknya orang yang jiwanya cacat atau kacau akan berpengaruh pada fisiknya.
Pembicaraan mengenai hakikat manusia ternyata terus menerus berjalan dan tak kunjung berakhir. Orang belum merasa puas dengan pandangan-pandangan di atas, baik dari aliran serba zat, serba ruh maupun aliran dualisme. Ahli-ahli filsafat modern dengan tekun berpikir lebih lanjut tentang hakikat manusia mana yang merupakan eksistensi atau wujud sesungguhnya dari manusia itu. Mereka yang memikirkan bagaimana eksistensi manusia atau wujud manusia itu sesungguhnya, disebut kaum eksistensialis dan alirannya disebut aliran eksistensialisme.
Jadi mereka ini mencari inti hakikat manusia yaitu apa yang menguasai manusia secara menyeluruh. Dengan demikian aliran ini memandang manusia tidak dari sudut serba zat atau serba ruh atau dualisme dari dua aliran itu, tetapi memandangnya dari segi eksistensi manusia itu sendiri, yaitu cara beradanya manusia itu sendiri di dunia ini.
Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa pemikiran tentang apa, dari mana dan ke mana manusia itu tidak ada henti-hentinya. Berdasarkan kenyataan bahwa manusia itu mempunyai badan jasmani dan mempunyai roh, jiwa atau rohani. Berbicara mengenai badan manusia itu sejak kita menemukan paling tidak empat macam pandangan, yaitu sebagai berikut :
a.       Pandangan idealistis tentang badan manusia
Pandangan ini mengatakan bahwa badan adalah sinar dari roh. Dalam hal ini roh diibaratkan seperti listrik, badan adalah cahaya. Badan dan roh tak pernah bertentangan satu sama lain. Badan seolah-olah tak ada yang ada hanya roh.[11] Al-Qur’an As-Sajdah: 9 mengatakan:
¢OèO çm1§qy yxÿtRur ÏmŠÏù `ÏB ¾ÏmÏmr ( Ÿ@yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur 4 WxÎ=s% $¨B šcrãà6ô±n@
Artinya :    Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur” (Q.S. As-Sajdah: 9).[12]

b.      Pandangan materialistis tentang badan manusia
Pandangan materialistis ini dengan tegas mengatakan bahwa yang ada hanya badan. Orang tak perlu berpikir lebih lanjut apa di balik badan itu, yang nampak pada kita ialah bahwa manusia berbadan yang bersifat materi, yang terdiri dari darah, daging, tulang dan sebagainya, seperti makhluk-makhluk hidup yang lain. Dengan begitu, kesenangan, kebahagiaan atau kesukariaannya tidak dapat dilepaskan dari barang materi. Jadi seluruh manusia itu adalah jasmani.
c.       Pandangan ketiga ini berpendapat bahwa badan adalah merupakan musuh dari roh. Antara badan dan roh selalu bertentangan satu sama lain. Badan dianggap menarik ke bawah kejahatan. Pandangan ini biasanya juga dualistis, artinya tidak memandang badan dan jiwa sebagai satu hal yang ada melainkan sebagai dua hal yang berdiri sendiri.
d.      Pandangan keempat ini memandang badan manusia sebagai jasmani yang di “rohani” kan atau rohani yang di “jasmani” kan, badan bukan hanya materi. Daging kita tidak sama dengan daging sapi atau kambing. Pancaindra kita tidak sama dengan indra hewan. Jadi kejasmanian manusia itu dengan segala-galanya. Jika dilihat kedudukannya dari keseluruhan manusia, tidak sama dengan kejasmanian hewan. Sebab jasmani manusia adalah jasmani yang dirohanikan atau dalam jasmani manusia itu ruhlah yang menjasmani.
Dengan pandangan ini maka antara badan dan ruh adalah menyatu dalam pribadi manusia yaitu yang disebut “aku”. Aku ini ya jasmani, ya rohani. Yang ada adalah aku dan badan adalah aku dalam bentukku jasmani. Badan adalah unsur diriku, unsur aku-ku. Hubungan antara aku dan badan seperti hubungan antara pikiran dan suara (bahasa) yang merupakan kesatuan. Kalau kita menangkap suara (kata-kata) berarti kita menangkap pikiran. Kalau orang melihat badanku berarti aku yang dilihatnya, meskipun demikian aliran ini tetap menganggap bahwa antara ruh dan badan tetap berbeda.
Islam berpandangan bahwa hakikat manusia ialah manusia itu merupakan perkaitan antara badan dan ruh. Badan dan ruh masing-masing merupakan substansi yang berdiri sendiri, yang tidak tergantung adanya oleh yang lain. Islam secara tegas mengatakan bahwa kedua-duanya substansi alam. Sedangkan alam adalah makhluk maka keduanya juga makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT.
Pertama-tama memang manusia sebagai makhluk alamiah yang mempunyai sifat dan ciri-ciri sebagaimana makhluk alamiah lainnya yang terikat dengan hukum-hukum alamiah. Dalam diri manusia terdapat unsur-unsur alam, ada unsur benda-benda mati, ada unsur tumbuh-tumbuhan (manusia mempunyai sifat tumbuh dan berkembang), ada unsur-unsur hewani, dengan kemampuan gerak, mempunyai nafsu, insting dan sebagainya. Tetapi manusia lebih daripada itu. Manusia secara fisik mempunyai bentuk yang lebih baik, lebih indah, lebih sempurna, secara alami manusia menjadi makhluk yang paling tinggi.[13] Firman Allah SWT:
ôs)s9 $uZø)n=y{ z`»|¡SM}$# þÎû Ç`|¡ômr& 5OƒÈqø)s? (التين: 4)
Artinya :    Telah Kami ciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk” (Q.S. At-Tin: 4).[14]

Demikian firman Tuhan. Kesempurnaan bentuk fisik manusia tersebut, masih dilengkapi oleh Allah dengan ditiupkan kepadanya ruh-Nya, sehingga manusia mempunyai derajat yang mulia, lebih mulia dari malaikat (malaikat menaruh kehormatan padanya) dan manusia menjadi khalifah di bumi (di alam).[15]
Dalam tahapan nafs, hakikat manusia ditentukan oleh kualitas amal, karya dan perbuatannya, bukan ditentukan oleh asal-usul keturunannya, kelompok sosial dengan golongan, ataupun bidang yang menjadi profesinya.[16] Oleh karena itu, Al-Qur’an 49: 13 menegaskan:
Artinya :    Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah yang lebih takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Teliti”.[17]

Dalam kaitannya dengan konsep tauhid, maka hakikat manusia dan fungsinya sebagai ‘abd dan khalifah dan kesatuan aktualisasi berbagai unsur yaitu jasad, hayat dan ruh yang membentuknya pada tahapan diri atau nafs yang aktual. Dengan kata lain, manusia hakikatnya adalah monodualis dan monopluralis yang aktual, dinamis, untuk mewujudkan karya kesalehan di muka bumi, sebagai jalan pengabdiannya kepada Tuhan.[18]
Khalifah berarti pengganti, penguasa, pengelola atau pemakmur. Selaku khalifah manusia tidak boleh mengakibatkan keserasian hidupnya berdampingan dengan alam semesta sebagai ekosistem. Manusia memang tidak bisa hidup sendirian. Ia memerlukan bekal hidup yang disumbangkan oleh lain karena memang ekosistem segala makhluk itu diperuntukkan bagi kehidupan manusia. Al-Qur’an 45: 13 menyatakan  : “Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir” (Q.S. 45: 13).[19]
Dalam Ensiklopedi Al-Qur’an disebutkan bahwa kata khalifah disebut dalam Al-Qur’an pada dua konteks. Pertama, dalam konteks pembicaraan tentang Nabi Adam a.s. (Q.S. Al-Baqarah: 30). Konteks ayat ini menunjukkan bahwa manusia dijadikan khalifah di atas bumi ini bertugas memakmurkannya atau membangunnya sesuai dengan konsep yang ditetapkan Allah sebagai yang menugaskannya. Dan kedua, dalam konteks pembicaraan tentang Nabi Daud a.s. (Q.S. Shad: 26). Konteks ayat ini menunjukkan bahwa Daud menjadi khalifah yang diberi tugas untuk mengelola wilayah yang terbatas. Melihat penggunaan kata khalifah dalam kedua ayat tersebut, dapat dipahami bahwa kata ini di dalam Al-Qur’an menunjuk kepada yang diberi kekuasaan untuk mengelola satu wilayah di bumi. Di dalam konteks ini Adam diberi kekuasaan mengelola wilayah yang luas. Sedangkan Nabi Daud diberi kekuasaan mengelola wilayah yang terbatas, yaitu negara Palestina. Dalam mengelola wilayah kekuasaan itu, seorang khalifah tidak boleh berbuat sewenang-wenang atau mengikuti hawa nafsunya (Q.S. Shad: 26 dan Q.S. Thaha: 16).
Konsep khalifah dalam Islam menempati prinsip utama, dimana manusia sebagai makhluk Tuhan memiliki fungsi dan peran sebagai seorang pemimpin. Dalam istilah manajemen, manusia dengan demikian diciptakan Tuhan menjadi seorang manajer yang memiliki kemampuan, keahlian, dan keterampilan dalam mengelola dan mengatur sumber daya alam dan potensi yang dimilikinya.

3.      Tanggung Jawab Manusia dalam Menjalankan Kekhalifahan
Manusia yang berkualitas ialah mereka yang mampu menjalankan peranannya sebagai khalifah Allah di muka bumi ini. Persaingan antara manusia di dalam hidup ini akan menumbuhkan di tengah-tengah kemanusiaan ini sekelompok umat yang memang pantas mendapatkan anugerah dari Allah berupa maghfirah-Nya disertai ganjaran yang berupa keridhaan-Nya serta jannatun na’im, hidup kekal di sisi-Nya. Hal inilah kiranya yang tidak dapat dipahami oleh para malaikat, sehingga mereka menyatakan keprihatinan mereka pada waktu Adam akan dijadikan Allah. [20]
Artinya :    Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Q.S. Al-Baqarah: 30).[21]

Manusia memiliki tugas dan tanggung jawab besar dalam kehidupan di dunia ini. Seorang manusia, selain memiliki citra diri sebagai hamba Allah, juga memiliki jabatan ilahiah sebagai khalifatullah, sang pengganti Allah dalam mengurusi seluruh alam. Tugas dan tanggung jawab itu merupakan tugas dan amanat ketuhanan yang sungguh besar dan berat. Oleh karena itu, semua yang ada di langit dan bumi menolak amanat yang sebelumnya telah Allah SWT tawarkan kepada mereka karena esensi amanat itu sangat besar dan luas, serta sungguh berat untuk dilaksanakan. Akan tetapi seorang manusia berani menerima amanat itu. Padahal ia memiliki potensi untuk mengingkari amanat itu.
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia, sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” (Q.S. Al-Ahzab [33]: 72).
Ibnu Abbas RA dalam tafsirnya menjelaskan ayat di atas bahwa amanat itu adalah ketaatan dan penghambaan atau ketekunan beribadah. Mereka enggan menerima amanat itu karena tidak mau mengambil resiko berupa dosa dan hukuman. Tetapi manusia, yaitu Adam, bersedia menerima kedua resiko itu.
Muhammad Ali Ash-Shabuny mengartikan amanat itu sebagai kewajiban-kewajiban dan pembebanan hukum syara’ kepada langit, bumi dan gunung-gunung. Namun mereka khawatir untuk menanggungnya karena hal itu merupakan tugas dan tanggung jawab yang berat dan keras.
Telah menjadi takdir-Nya bagi seorang manusia, suka atau tidak suka, ingin atau tidak ingin, manusia harus menerima dan menjalankan tugas dan tanggung jawabnya di muka bumi dan alam ini sebagai manifestasi dari titah amanat yang telah diterima secara turun-temurun sejak Nabi Adam AS, ia mendapat titel sebagai khalifah-Nya dengan segala fasilitas keinsanan dan ketuhanan yang sempurna dan lengkap, yang telah Allah jadikan dalam proses kejadiannya dengan bentuk dan penampilannya yang baik.[22]
Dalam ayat ini, Allah menegaskan maksud-Nya menciptakan manusia, yaitu untuk menjadi khalifah atau wakil-Nya mengurus dunia ini, namun malaikat menyatakan ketidaksetujuan mereka dengan alasan bahwa manusia akan suka berperang dan bunuh membunuh sesama mereka. Apa yang dikatakan malaikat ini memang ternyata sesuai dengan tabiat manusia yang telah diterangkan di atas, tetapi dengan sifat-sifat manusia itu. Manusia dapat pula berkembang melalui proses pertumbuhan yang terus menerus mencapai kesempurnaan. Perselisihan antar manusia adalah akibat yang tak dapat tidak mesti berlaku karena adanya kebebasan untuk menentukan pilihan. Namun dengan perselisihan ini pula manusia berproses untuk maju. Oleh karena itulah Nabi pun dikirim Allah ke bumi ini tidak hanya sekali dua kali, tapi sampai dua ratus ribu kali yang berakhir di antara para nabi ini ialah Nabi Muhammad SAW. Sebagai pembawa konsep sistem nilai terpadu yang telah lengkap bagi kebutuhan manusia untuk berproses mencapai titik kulminasi kesempurnaan budaya pada akhir zaman nanti. Ini pula sebab maka keaslian Al-Qur’an telah dijamin Allah sampai ke akhir zaman sebagaimana ditegaskan Allah SWT:
Artinya :    Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (Q.S. Al-Hijr: 9).[23]

Allah telah menakdirkan manusia untuk menjaga kekhalifahan (manajer)-Nya di muka bumi. Sebagai khalifah Allah, seyogianyalah manusia akan mengelola bumi ini sesuai dengan kehendak yang mengangkatnya. Rasul Allah telah berpesan agar manusia mempunyai akhlak yang sama dengan akhlak Allah. [24]
Allah menegaskan bahwa manusia dijadikan-Nya di muka bumi agar manusia memakmurkan bumi ini.
... uqèd Nä.r't±Rr& z`ÏiB ÇÚöF{$# óOä.tyJ÷ètGó$#ur $pkŽÏù ...
Artinya :    “... Dia (Allah) yang telah menjadikan kamu daripada bumi agar kamu memakmurkannya ...” (Q.S. Hud: 61).[25]

Sebagai khalifah atau manajer Allah di muka bumi, manusia sepantasnyalah berkiprah sesuai dengan kehendak Allah SWT. Misi manusia dalam hidup ini sebagaimana yang ditegaskan Allah dalam ayat tersebut ialah memakmurkan bumi. Tugas ini dilakukan manusia bukan untuk Allah, tapi demi kepentingan manusia sebagai hamba-hamba-Nya. Untuk melaksanakan misi itu, manusia telah diperlengkapi dengan potensi untuk memahami sunnatullah yang mengatur alam atau ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan pengetahuan akan sunnatullah ini manusia akan dapat memakmurkan bumi sesuai dengan kehendak Allah serta menghayati sifat-sifat Allah dengan mengelola alam ini dengan sebaik-baiknya. Inilah yang dimaksud dengan “beriman dan beramal shalih”.
Adapun akhlak Allah itu tertera di dalam Al-Qur’an sebagai asma al-husna. Nama-nama Allah yang indah ini merupakan attribute (sifat) atau akhlak Allah, dan sebagai makhluk Allah manusia perlu meniru sifat-sifat itu. Walaupun dalam ukuran mini (kecil). Dengan akhlak yang mulia (akhlaq ulkariimah) ini manusia akan berkelayakan untuk menjadi khalifah-Nya di bumi, sesuai dengan tujuan Allah menciptakan manusia. Untuk melaksanakan misi pengelolaan alam ini, Allah telah mengirimkan lebih dari dua ratus ribu nabi dan rasul sebagai teladan manusia. Muhammad SAW sebagai Rasul Allah terakhir telah dibekali dengan kitab suci yang lengkap dan sempurna serta terpelihara keasliannya sebagai rujukan utama bagi manusia yang menginginkan kejayaan hidup mereka di dunia ini.
Dengan meyakini kesempurnaan dan keaslian Al-Qur’an ini setiap muslim tidak akan rugi lagi mengikuti sunnah Allah yang tertera di dalamnya. Dengan keyakinan yang bulat ini manusia muslim akan dapat berproses menuju kesempurnaan kemanusiaannya dengan langkah yang lebih cepat dari mereka yang nonmuslim. Jika kenyataan pada saat ini kaum muslimin belum mampu mengejar langkah mereka yang tidak Islam, maka itulah bukti yang paling nyata bahwa mereka yang mengaku muslim pada saat ini belum menghayati pesan-pesan Allah dalam Al-Qur’an itu, suatu kenyataan yang sangat ironis, dan inilah yang menyebabkan Rasul Allah nanti di hari kebangkitan akan mengadukan sedihnya kepada Allah :[26]
Artinya :      Berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’an itu sesuatu yang ditinggalkan (diabaikan)” (Q.S. Al-Furqan: 30).[27]

Maka, dapatlah disimpulkan berdasarkan uraian dan penegasan ayat-ayat Allah tersebut di atas bahwa kekhalifahan manusia itu merupakan potensi yang perlu dikembangkan oleh manusia dengan jalan mensyukurinya. Oleh karena itu, perlu kita tekankan kembali bahwa bersyukur itu adalah kewajiban setiap muslim yang paling penting dan paling utama, sehingga alternatif satu-satunya bagi seseorang yang tak mau bersyukur ialah kufur. Adapun mereka yang betul-betul bersyukur atas nikmat-nikmat Allah maka mereka akan menjadi khalifah  sesungguhnya di dunia ini sebagaimana dijanjikan Allah kepada mereka dalam surah An-Nuur ayat 55:[28]

Artinya :    Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka Itulah orang-orang yang fasik” (Q.S. An-Nuur: 55).[29]

Dalam ayat ini jelas kelihatan bahwa satu-satunya cara mensyukuri nikmat Allah itu ialah dengan beriman kepada Allah dan beramal shalih. Jika dihubungkan apa yang dikatakan ayat ini dengan kupasan dalam bab tentang sunnatullah yang menerangkan arti amal shalih, maka dapatlah dipahami dengan tepat bahwa penguasaan IPTEK merupakan syarat mutlak untuk dapat menjadi khalifah Allah yang betul-betul memenuhi misi manusia diciptakan di muka bumi ini. Apa yang kita lihat di dunia ini pun di dalam sejarah manusia ternyata bahwa kelompok-kelompok manusia atau bangsa yang mampu menguasai IPTEK-lah yang mampu menjadi super power dalam arti yang sebenarnya. Oleh karena itu, kita wajib menggalakkan usaha peningkatan kemampuan menguasai asmaa kulaha ini sesuai dengan misi kita sebagai umat Muhammad yang telah diciptakan seyogianya sebagai khalifah, bahkan ummatan washatin (bangsa para wasiat).[30]

B.     Sikap Keberagamaan
1.      Pengertian Sikap Keberagamaan
Sikap keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorong sisi orang untuk bertingkah laku yang berkaitan dengan agama. Sikap keberagamaan terbentuk karena adanya konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai komponen kognitif, perasaan terhadap agama sebagai komponen efektif dan perilaku terhadap agama sebagai komponen kognatif. Di dalam sikap keagamaan antara komponen kognitif, efektif dan kognatif saling berintegrasi sesamanya secara kompleks.
Pendidikan agama yang bersifat dressur dan menggugah akal serta perasaan memegang peranan penting dalam pembentukan sikap keagamaan.
Kalau kita amati seksama keadaan bayi pada saat lahirkan, maka akan kita saksikan, bahwa mereka dalam keadaan yang sangat lemah, dan serba tidak berdaya. Hampir seluruh hidup dan kehidupannya, hanya menggantungkan diri kepada orang lain. Mereka sangat memerlukan pertolongan dan bantuan dalam segala hal. kalau seandainya anak tersebut tidak diberi minum atau makan oleh ibunya maka ia pasti akan mati. Demikian pula kalau dia tidak diberi bimbingan atau pendidikan, baik pendidikan jasmani maupun pendidikan rohani yang berupa pendidikan intelek, susila, sosial, agama dan lain-lain, maka anak tersebut tidak akan dapat berbuat sesuatu. Dalam kaitannya dengan uraian di atas, maka tepat sekali apa yang dikemukakan oleh Emmanuel Kant bahwa manusia dapat menjadi manusia karena pendidikan.
Pernyataan tersebut mengandung pengertian, bahwa bilamana anak tidak mendapat pendidikan, maka mereka tidak akan sempurna hidupnya dan tidak akan dapat memenuhi fungsinya sebagai manusia yang berguna dalam hidup dan kehidupannya. Dengan kata lain hanya pendidikanlah yang dapat memanusiakan dan membudayakan manusia.
Agama merupakan kebutuhan manusia terhadap pedoman hidup yang dapat menunjukkan jalan ke arah kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an surat Ar-Rum ayat 30 itu, manusia sejak lahir sudah membawa fitrah beragama. Karena adanya fitrah beragama itu maka manusia disebut homo divinas (makhluk berketuhanan) atau juga disebut homo religius (makhluk beragama) karena dengan adanya agama maka manusia akan mendapat ketenangan lahir dan batin.[31]
Mc. Nair dan Brown (1983) dalam penelitiannya menemukan bahwa dukungan orang tua berhubungan secara signifikan dengan sikap siswa. Begitu juga Zakiah Daradjat (1988) mengatakan bahwa sikap keagamaan merupakan perolehan dan bukan bawaan. Ia terbentuk melalui pengalaman langsung yang terjadi dalam hubungannya dengan unsur-unsur lingkungan materi dan sosial, misalnya rumah tenteram, orang tertentu, teman orang tua, jamaah dan sebagainya.

2.      Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap Keberagamaan
Menurut Siti Partini, pembentukan dan perubahan sikap dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu:
a.       Faktor internal, berupa kemampuan menyeleksi dan mengolah atau menganalisis pengaruh yang datang dari luar, termasuk di sini minat dan perhatian.
b.      Faktor eksternal, berupa faktor di luar dari individu yaitu pengaruh lingkungan yang diterima.
Dengan demikian walaupun sikap keagamaan bukan merupakan bawaan akan tetapi dalam pembentukan dan perubahannya ditentukan oleh faktor internal dan faktor eksternal individu.
Pembentukan sikap keagamaan ini sangat erat kaitannya dengan perkembangan agama, sikap fanatis, sikap toleran, sikap pesimis, sikap optimis, sikap tradisional, sikap modern, sikap fatalisme dan sikap free will dalam beragama banyak menimbulkan dampak negatif dan dampak positif dalam meningkatkan kehidupan individu dan masyarakat dalam beragama.[32]
Menurut beberapa ahli, anak dilahirkan bukanlah sebagai makhluk yang religius. Anak yang baru dilahirkan lebih mirip binatang, bahkan mereka mengatakan anak seekor kera lebih bersifat kemanusiaan daripada bayi manusia itu sendiri. Selain itu ada pula yang berpendapat sebaliknya, bahwa anak sejak dilahirkan telah membawa fitrah keagamaan. Fitrah itu baru berfungsi di kemudian hari melalui proses bimbingan dan latihan setelah berada pada tahap kematangan.
Menurut tinjauan, pendapat pertama bayi dianggap sebagai manusia dipandang dari segi bentuk dan bukan kejiwaan. Apabila bakat elementer bayi lambat bertumbuh dan matang, maka agak sukarlah untuk melihat adanya keagamaan pada dirinya. Meskipun demikian ada yang berpendapat bahwa tanda-tanda keagamaan pada dirinya tumbuh terjalin secara integral dengan perkembangan fungsi-fungsi kejiwaan lainnya.
Menurut penelitian Ernest Harms yang dikutip oleh Ramayulis menyatakan perkembangan anak-anak itu melalui beberapa fase (tingkatan). Dalam bukunya The Development of Religious on Childen, ia mengatakan bahwa perkembangan agama pada anak-anak itu melalui tiga tingkatan, yaitu:
a.       The fairy tale stage (tingkat dongeng)
Tingkatan ini dimulai pada anak-anak yang berusia 3-6 tahun. Pada tingkat ini konsep mengenal Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada tingkat perkembangan intelektualnya. Kehidupan masa ini masih banyak dipengaruhi kehidupan fantasi, hingga dalam menanggapi agama pun anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal.
b.      The realistic stage (tingkat kenyataan)
Tingkat ini dimulai sejak anak mulai masuk sekolah dasar hingga ke usia (masa usia) adolescence. Pada masa ini, ide ketuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realitas). Konsep ini timbul melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada masa ini ide keagamaan anak didasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Berdasarkan hal itu, maka pada masa ini anak-anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan yang mereka lihat dikelola oleh orang dewasa dan lingkungan mereka. Segala bentuk tindak (amal) keagamaan mereka ikuti dan pelajari dengan penuh minat.
c.       The individual stage (tingkat individu)
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang individualistis ini terbagi atas tiga golongan, yaitu:
1)      Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh luar.
2)      Konsep ketuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal (perorangan).
3)      Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik. Agama telah menjadi etos humanis pada diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan ini setiap tingkatan dipengaruhi oleh faktor intern. Yaitu perkembangan usia dan faktor ekstern berupa pengaruh luar yang di dalamnya.
Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, sebenarnya potensi agama sudah ada pada setiap manusia sejak ia dilahirkan. Potensi ini berupa dorongan untuk mengabdi kepada sang pencipta. Dalam terminologi Islam dorongan ini dikenal dengan hidayat al-diniyyat berupa benih-benih keberagamaan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Dengan adanya potensi bawaan ini manusia pada hakikatnya adalah makhluk beragama.[33]
Memahami konsep keagamaan pada anak berarti memahami sifat agama pada anak-anak, sesuai dengan ciri yang mereka miliki, maka sifat agama pada anak-anak tumbuh mengikuti pola ideas concept on authority, idea keagamaan pada anak hampir sepenuhnya. Authoritarius, maksudnya konsep keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh unsur dari luar diri mereka. Hal tersebut dapat dimengerti karena anak-anak usia muda telah melihat, mempelajari hal-hal yang berada di luar diri mereka. Mereka telah dan mengikuti apa-apa yang dikerjakan dan diajarkan orang dewasa, dan orang tua mereka tentang sesuatu hingga masalah agama. Dan orang tua mereka tentang sesuatu hingga masalah agama. Orang tua mempunyai pengaruh terhadap anak sesuai dengan prinsip eksplorasi yang mereka miliki. Dengan demikian ketaatan sebagai ajaran agama merupakan kebiasaan yang menjadi milik mereka yang mereka pelajari dari para orang tua maupun guru mereka. Bagi mereka sangat mudah untuk menerima ajaran dari orang dewasa walaupun ajaran itu belum mereka sadari sepenuhnya manfaat ajaran tersebut.[34]

3.      Menumbuhkan Sikap Keberagamaan Anak
Menurut dr. Farah Idris, setiap anak dilahirkan dengan potensi beragama. Potensi ini dapat dilihat saat anak memasuki usia 3-5 tahun yang ditandai dengan pelbagai pertanyaan kritis terhadap apa yang dilihat dan didengar. Pertanyaan tersebut bersifat kritis tanpa disadari oleh orang tuanya. Misalnya anak bertanya siapa yang menciptakan manusia dan hewan, di mana dan siapa Allah, mengapa manusia disuruh shalat. Potensi beragama tersebut tergambar jelas dalam sabda Nabi SAW, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, kedua orang tualah yang membuat mereka menjadi Yahudi, Nasrani dan Majusi”. Hadits tersebut menegaskan pula pentingnya peran orang tua untuk mengarahkan fitrah, dengan demikian menanamkan nilai-nilai agama pada usia dini sangat berpengaruh dalam menentukan masa depan anak.
Menanamkan nilai-nilai agama pada anak usia dini merupakan langkah awal menumbuhkan sifat, sikap dan perilaku keagamaan seseorang pada masa perkembangan berikutnya. Pada masa anak, karakter dasar dibentuk baik yang bersumber dari fungsi otak, emosional maupun religiusnya. Fase usia dini merupakan masa terbaik untuk menanamkan rasa agama pada anak. Pada masa ini perkembangan kesadaran beragama masih pada tingkatan unrefictif (kurang mendalam) yang lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi atau emosi dan imitatif (meniru) dari apa yang dilihat dan didengarnya. Secara spesifik kesadaran beragama pada anak usia dini ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut :
a.       Sikap keagamaan bersifat reseptif meskipun sudah banyak bertanya. Artinya anak akan menerima segala ajaran dan nilai-nilai agama yang diberikan oleh orang tua atau pendidikannya karena rasa ingin tahu yang mulai tumbuh. Anak akan selalu bertanya terhadap apa yang dilihat dan didengar dari perilaku dan ucapan orang-orang di sekitarnya. Penjelasan yang benar dan mudah diterima oleh anak sangat mempengaruhi pemahaman dan kesadaran agama di kemudian hari.
b.      Pandangan ketuhanannya bersifat anthropomorphis (dipersonifikasikan) dan ideosyncritic (menurut khayalan). Artinya dalam memahami konsep Tuhan atau dalam menggambarkan Tuhan selalu diidentikkan dengan makhluk yang dilihatnya. Khayalan yang ada dalam pikiran anak lebih bersifat emosional. Pada masa ini anak belum bisa menerima konsep-konsep yang bersifat abstrak atau tidak terlihat.
c.       Penghayatan secara ruhaniah masih superficial (belum mendalam atau ikut-ikutan), artinya dalam menjalankan perintah keagamaan sekedar partisipatif, meniru dan ikut-ikutan tanpa disadari penghayatan ruhaniahnya atau batiniahnya. Sering kali kita lihat anak-anak mengaji dan shalat berjamaah di masjid dengan main-main, berlari-lari, atau bercanda dengan temannya. Hal ini disebabkan pada masa ini belum berkembang perasaan keberagamaan seperti rasa rendah hati, syukur, khusyu’, atau takut terhadap azab Allah.
Untuk menanamkan nilai-nilai agama pada anak usia dini harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan kesadaran beragamanya. Tingkat kesadaran agama atau keimanan anak masih pada tingkat stimulus response verbalisme (respons di bibir saja). Maka metode yang bisa diterapkan dalam nilai-nilai agama pada anak usia dini yang utama adalah pengondisian lingkungan yang mendukung terwujudnya nilai-nilai agama pada diri anak, diantaranya melalui:
a.       Peneladanan atau suri teladan orang tua dan orang di sekitarnya. Ini merupakan kunci utama dalam menanamkan sikap keberagamaan pada anak-anak, mengingat perilaku keagamaan yang dilakukan anak pada dasarnya adalah imitatif (meniru), baik berupa pembiasaan maupun pengajaran yang intensif. Tidak shalat misalnya, mereka peroleh dari lingkungan yang sering mereka lihat. Anak cenderung melakukan apa yang dia lihat dan dia benar. Selain itu peneladanan sikap saling menghormati dan menyayangi sesama juga perlu dilakukan.
b.      Otoritas atau doktrin sesuai dengan perkembangan rasa ingin tahu yang tinggi, maka proses pembelajaran tentang doktrin-doktrin atau dasar-dasar agama sudah harus mulai ditanamkan untuk mengisi kekosongan pengetahuan agama sekaligus sebagai benteng sebelum terisi oleh pengetahuan-pengetahuan lain yang justru akan merusak aqidah dan akhlak.
c.       Sugesti atau hadiah dan hukuman. Anak cenderung mengulang perkataan atau perbuatannya (dalam hal keagamaan atau ibadah) apabila mendapatkan hadiah atau pujian akan tidak mengulangi perbuatan atau kata-katanya apabila dicela atau mendapat hukuman.
d.      Dorongan sosial, ini perlu ditanamkan pada masa kanak-kanak karena pada dasarnya implementasi agama tidak semata untuk diri sendiri tapi lebih luas adalah untuk kemaslahatan umat, maka perlu adanya sikap menghargai pendapat anak, memberikan kebebasan berkreasi, dan memberikan waktu bersosialisasi dengan teman-temannya untuk mengembangkan nilai-nilai agama yang diperolehnya.
Pengondisian lingkungan yang mendukung terwujudnya nilai-nilai agama pada diri anak harus dimulai dari lingkungan terkecil yaitu keluarga. Keluarga merupakan lingkungan pertama dimana anak memperoleh segala pengetahuan dan mengenal adanya interaksi sosial (hubungan antara ayah, ibu dan anak). Rasa ketergantungan anak pada orang tua dan orang yang lebih dewasa sangat besar, sehingga peran orang tua atau orang yang lebih dewasa sangat penting dalam pendidikan agama pada usia tersebut.[35]
Agama berperan penting bagi perkembangan moral anak. Untuk itu, menanamkan agama pada anak sejak dini sangat penting. Anak juga akan memahami agama yang dipeluknya dengan jelas. Pendidikan agama juga sangat penting karena bisa menumbuhkan sikap ideal agar bisa bekerja sama dengan agama atau keyakinan yang lain. Dalam cakupan pergaulan dengan bermacam-macam ideologi dan pandangan mengenai dunia. Pendidikan agama bagi anak menjadi agen yang akan mempersiapkan anak untuk memasuki dialog tentang prinsip-prinsip kehidupannya sendiri secara terbuka, kelak ketika mereka semakin dewasa. Selain mengajarkan konsep beragama, anak juga harus dikenalkan dengan hak kebebasan beragama. Orang tua sebenarnya berhak menentukan apakah, di manakah, dalam agama apakah anak mereka boleh diberi pelajaran agama. Namun hak asasi orang tua juga memuat hak agar anak mereka tidak diberi pelajaran agama yang tidak dikehendaki. Bukan hanya sekolah negeri, tetapi juga di sekolah swasta. Misalnya, sekolah Katolik berhak hanya menawarkan pelajaran agama Katolik. Sekolah Muhammadiyah berhak hanya menawarkan agama Islam. Tetapi yang paling penting adalah di mana anak menganut agama yang berbeda tidak berhak mewajibkan murid-muridnya yang bukan seagama untuk ikut pelajaran agama yang berbeda tersebut. Begitu pula di sekolah Islam, sekolah tidak berhak mewajibkan murid bukan Islam untuk ikut pelajaran Islam.[36]


[1] Prof. DR. Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, cetakan I, hal. 41.
[2] Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H., dkk., Al-Qur’an Terjemah, CV. Atlas, Jakarta, 1998, hal. 615.
[3] Prof. DR. H. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Jakarta, 2004, cet. IV, hal. 278-279.
[4] Dr. Muh. Midayeli, M.Ag., Teori-teori Pengembangan Sumber Daya Manusia, Program Pascasarjana UIN Suska Riau, Riau, 2007, cet. I, hal. 14-17.
[5] Dr. Armai Arief, M.A., Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Ciputat Press, Jakarta, 2002, cet. I, hal. 7-8.
[6] Imam Abu Al-Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi, Shahih Muslim, Juz II, Darul Fikr, Bairut, Libanon, hal. 556.
[7] Dr. Armai Arief, M.A., Op. Cit., hal. 8.
[8] Prof. Dr. H. Musa Asy’ari, Filsafat Islam, Lesfi, Yogyakarta, 2008, cet. IV, hal. 236.
[9] Dra. Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 2008, cet. IV, hal. 71.
[10] Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H., dkk., Op. Cit., hal. 393.
[11] Dra. Zuhairini, dkk., Op. Cit.
[12] Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H., dkk., Op. Cit., hal. 661.
[13] Dra. Zuhairini, dkk., Op. Cit., hal. 71.
[14] Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H., dkk., Op. Cit., hal. 1075.
[15] Dra. Zuhairini, dkk., Op. Cit., hal. 78.
[16] Prof. Dr. H. Musa Asy’arie, Filsafat Pendidikan Islam, Lesfi, Yogyakarta, 2008, cet. IV, hal. 248-249.
[17] Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H., dkk., Op. Cit., hal. 847.
[18] Drs. A. Kaelany HD, M.A., Islam dan Aspek-aspek Kemasyarakatan, Bumi Aksara, Jakarta, 2005, cet. II, hal. 9.
[19] Prof. Dr. H. Nizar Ali, M.A. dan Ibi Syahbi, M.Si., Manajemen Pendidikan Islam, Pustaka Isfaham, Bekasi, 2009, cet. I, hal. 170.
[20] Dr. Ir. Muhammad Imadudin ‘Abdulrahim, M.Sc., Islam Sistem Nilai Terpadu, Gema Insani Press, Jakarta, 2002, cet. I, hal. 125.
[21] Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H., dkk., Op. Cit., hal. 13.
[22] Drs. Prasetya, Filsafat Pendidikan, Pustaka Setia, Bandung, 1997, cet. 1.
[23] Ibid, hal. 391.
[24] DR. Ir. Muhammad Imadudin, Op. Cit.
[25] Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H., dkk., Op. Cit., hal. 336.
[26] DR. Ir. Muhammad Imadudin, Op. Cit.
[27] Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H., dkk., Op. Cit., hal. 564.
[28] DR. Ir. Muhammad ‘Imadudin, Op. Cit., hal.
[29] Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H., dkk., Op. Cit., hal. 553-554.
[30] DR. IR. Muhammad ‘Imadudin, Op. Cit., hal.
[31] Dra. Zuhairini, dkk., Op. Cit., hal. 93-97.
[32] Prof. Dr. H. Ramayulis, Psikologi Agama, Kalam Mulia, Jakarta, cet. VIII, 2007, hal. 97-98.
[33] Prof. Dr. H. Jalaludin, Psikologi Agama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 64-67.
[34] Prof. Dr. H. Ramayulis, Op. Cit., hal. 53-54.
[35] http://majalahmadinah.blogspot.com, 9 Mei 2010.
[36] http://lifestyle.okezone.com, 9 Mei 2010.

No comments:

Post a Comment