PENDAHULUAN
Kita saat ini ada di tengah arus
deras pergeseran nilai sosial dalam masyarakat kita. Pergeseran nilai sosial
tampak pada kecenderungan makin permisifnya keluarga-keluarga di masyarakat
kita. Keluarga tidak lagi dilihat sebagai ikatan spiritual yang menjadi medium
ibadah kepada Sang Pencipta. Kawin-cerai hanya dilihat sebatas proses formal
sebagai kontrak sosial antara dua insan yang berbeda jenis.
Perkawinan kehilangan makna sakral
dimana Allah menjadi saksi atas ijab-kabul yang terjadi.Ini bertolak belakang
dengan adagium yang menyatakan keluarga adalah garda terdepan dalam membangun
masa depan bangsa peradaban dunia. Dari rahim keluarga lahir berbagai gagasan
perubahan dalam menata tatanan masyarakat yang lebih baik. Tidak ada satu bangsa
pun yang maju dalam kondisi sosial keluarga yang kering spiritual, atau bahkan
sama sekali sudah tidak lagi mengindahkan makna religiusitas dalam hidupnya.
Karena itu, Al-Qur’an memuat ajaran tentang keluarga begitu komprehensif, mulai
dari urusan komunikasi antar individu dalam keluarga hingga relasi sosial antar
keluarga dalam masyarakat. Banyak
memang problema yang biasa dihadapi keluarga. Tidak sedikit keluarga yang
menyerah atas “derita” yang sebetulnya diciptakannya sendiri. Di antaranya
memilih perceraian sebagai penyelesaian. Kasus-kasus faktual tentang itu ada
semua di masyarakat kita. Dan, masih banyak lagi kegelisahan yang melilit
keluarga-keluarga di masyarakat kita. Namun, umumnya kegelisahan itu
diakibatkan oleh menurunnya kemampuan mereka menemukan alternatif ketika
menghadapi masalah yang tidak dikehendaki. Karena itu, menjadi penting bagi
kita untuk mencari kunci yang bisa mengokohkan bangun keluarga kita dari
hempasan arus zaman yang serba menggelisahkan. Dan, kata kunci itu adalah sakinah. disini banyak sekali makna yang terkandung untuk membina keluarga yang sakinah. Silahkah sobat-soabat sekalian bisa membacanya, semoga bermanfaat.
PEMBAHASAN
Istilah “sakinah”
digunakan Al-Qur’an untuk menggambarkan kenyamanan keluarga. Istilah ini
memiliki akar kata yang sama dengan “sakanun” yang berarti tempat
tinggal. Jadi, mudah dipahami memang jika istilah itu digunakan Al-Qur’an untuk
menyebut tempatberlabuhnya setiap anggota keluarga dalam suasana yang nyaman
dan tenang,sehingga menjadi lahan subur untuk tumbuhnya cinta kasih (mawaddah
wa rahmah) di antara sesama anggotanya.
Kenyamanan
dalam keluarga hanya dapat dibangun secara bersama-sama. Tidak bisa bertepuk
sebelah tangan. Melalui proses panjang, setiap anggota keluarga saling
menemukan kekurangan dan kelebihan masing-masing. Penemuan itulah yang harus
menjadi ruang untuk saling mencari keseimbangan. Makanya, keluarga sekolah yang
tiada batas waktu. Di sana terjadi proses pembelajaran secara terus menerus
untuk menemukan formula yang lebih tepat bagi kedua belah pihak, baik suami-istri,
maupun anak-orangtua.
Proses belajar itu akan mengungkap
berbagai misteri keluarga. Lebih-lebih ketika kita akan belajar tentang
baik-buruk kehidupan keluarga dan rumah tangga. Tidak banyak buku yang memberi
solusi jitu atas problema keluarga. Sebab, ilmu membina keluarga lebih banyak
diperoleh dari pengalaman. Maka tak heran jika keluarga sering diilustrasikan
sebagai perahu yang berlayar melawan badai samudra. Kita dapat belajar dari
pengalaman siapa pun. Pengalaman pribadi untuk tidak mengulangi kegagalan, atau
juga pengalaman orang lain selama tidak merugikan pelaku pengalaman itu.
Masalah demi masalah yang dilalui
dalam perjalanan sejak pertama kali menikah adalah pelajaran berharga. Kita
dapat belajar dari pengalaman orang tentang memilih pasangan ideal, menelusuri
kewajiban-kewajiban yang mengikat suami-istri, atau tentang penyelesaian
masalah yang biasa dihadapi keluarga. Semuanya sulit kita dapat dari buku.
Hanya kita temukan pada buku kehidupan. Bagaimana kita dapat memahami istri
yang gemar buka rahasia, atau menghadapi suami yang berkemampuan seksual tidak
biasa. Dan masih banyak lagi masalah keluarga yang seringkali sulit ditemukan
jalan penyelesaiannya. Jadi, memang tepat jika rumah tangga itu diibaratkan
perahu, sebab tak henti-hentinya menghadapi badai di tengah samudra luas
kehidupan.
Rumah tangga juga dua sisi dari
keping uang yang sama: bisa menjadi tambang derita yang menyengsarakan,
sekaligus menjadi taman surga yang mencerahkan. Kedua sisi itu rapat
berhimpitan satu sama lain. Sisi yang satu datang pada waktu tertentu, sedang
sisi lainnya datang menyusul kemudian. Yang satu membawa petaka, yang lainnya
mengajak tertawa. Tentu saja, siapa pun berharap rumah tangga yang dijalani
adalah rumah tangga yang memancarkan pantulan cinta kasih dari setiap sudutnya.
Rumah tangga yang benar-benar menghadirkan atmosfir surga: keindahan, kedamaian,
dan keagungan. Ini adalah rumah tangga dengan seorang nakhoda yang pandai
menyiasati perubahan.
Rumah menjadi panggung yang
menyenangkan untuk sebuah pentas cinta kasih yang diperankan oleh setiap
penghuninya. Rumah juga menjadi tempat sentral kembalinya setiap anggota
keluarga setelah melalui pengembaraan panjang di tempat mengadu nasibnya
masing-masing. Hanya ada satu tempat kembali, baik bagi anak, ibu, maupun
bapak, yaitu rumah yang mereka rasakan sebagai surga. Bayangkan, setiap hari
jatuh cinta. Anak selalu merindukan orang tua, demikian pula sebaliknya. Betapa
indahnya taman rumah tangga itu. Sebab, yang ada hanya cinta dan kebaikan.
Kebaikan inilah yang sejatinya menjadi pakaian sehari-hari keluarga. Dengan
pakaian ini pula rumah tangga akan melaju menempuh badai sebesar apapun. Betapa
indahnya kehidupan ketika ia hanya berwajah kebaikan. Betapa bahagianya
keluarga ketika ia hanya berwajah kebahagiaan.
Tetapi, kehidupan rumah tangga
acapkali menghadirkan hal yang sebaliknya. Bukan kebaikan yang datang
berkunjung, melainkan malapetaka yang kerap merundung. Suami menjadi bahan
gunjingan istri, demikian pula sebaliknya. Anak tidak lagi merindukan orang
tua, dan orang tua pun tidak lagi peduli akan masa depan anaknya. Bila sudah
demikian halnya, bukan surga lagi yang datang, melainkan neraka yang siap untuk
membakar. Benar, orang tua tidak punya hak membesarkan jiwa anak-anaknya, dan
mereka hanya boleh membesarkan raganya. Tapi raga adalah cermin keharmonisan
komunikasi yang akan berpengaruh pada masa depan jiwa dan kepribadian mereka.
Lunturnya Semangat SakinahMembangun
sakinah dalam keluarga, memang tidak mudah. Ia merupakan bentangan proses yang
sering menemui badai. Untuk menemukan formulanya pun bukan hal yang sederhana.
Kasus-kasus keluarga yang terjadi di sekitar kita dapat menjadi pelajaran
penting dan menjadi motif bagi kita untuk berusaha keras mewujudkan indahnya keluarga
sakinah di rumah kita.
Ketika seseorang tersedu mengeluhkan
sepenggal kalimat, “Suami saya akhir-akhir ini jarang pulang”, tidak sulit kita
cerna maksud utama kalimatnya. Sebab, kita menemukan banyak kasus yang hampir
sama, atau bahkan persis sama, dengan kasus yang menimpa wanita pengungkap
penggalan kalimat tadi.
Penggalan kalimat di atas bukan
satu-satunya masalah yang banyak dikeluhkan istri. Masih banyak. Tapi kalau
ditelusuri akar masalahnya sama: “tidak tahan menghadapi godaan”. Godaan itu
bisa datang kepada suami, bisa juga menggedor jagat batin istri. Karena godaan
itu pula, siapa pun bisa membuat seribu satu alasan. Ada yang mengatakannya
sudah tidak harmonis, tidak bisa saling memahami, ingin mendapat keturunan,
atau tidak pernah cinta.
Payahnya, semakin hari godaan akibat
pergeseran nilai sosial semakin menggelombang dan menghantam. Sementara,
ketahanan keluarga semakin rapuh karena ketidakpastian pegangan. Maka, kita
dapati kasus-kasus di mana seorang ibu kehilangan kepercayaan anak dan
suaminya. Seorang bapak yang tidak lagi berwibawa di hadapan anak dan istrinya.
Anak yang lebih erat dengan ikatan komunitas sebayanya. Bapak berebut otoritas
dalam keluarga dengan istrinya, serta istri yang tidak berhenti memperjuangkan
hak kesetaraan di hadapan suami. Semua punya argumentasi untuk membenarkan
posisinya. Semua tidak merasa ada yang salah dengan semua kenyataan yang semakin
memprihatinkan itu.
Tapi benarkah perubahan zaman
menjadi sebab utama terjadinya pergeseran nilai dalam rumah tangga? Lalu,
mengapa keluarga kita tidak lagi sanggup bertahan dengan norma-norma dan jati
diri keluarga kita yang asli? Bukankah orang tua-orang tua kita telah
membuktikan bahwa norma-norma yang mereka anut telah berhasil mengantarkan
mereka membentuk keluarga normal dan berbudaya, bahkan berhasil membentuk diri
kita yang seperti sekarang ini? Lantas, kenapa kita harus larut dengan segala
riuh-gelisah perubahan zaman yang kadang membingungkan?
Transformasi budaya memang tidak
mudah, bahkan tidak mungkin, kita hindari. Arusnya deras masuk ke rumah kita
lewat media informasi dan komunikasi. Kini, setiap sajian budaya yang kita
konsumsi dari waktu ke waktu, diam-diam telah menjadi standar nilai masyarakat
kita. Ukuran baik-buruk tidak lagi bersumber pada moralitas universal yang
berlandaskan agama, tapi lebih banyak ditentukan oleh nilai-nilai artifisial
yang dibentuk untuk tujuan pragmatis dan bahkan hedonis. Tanpa kita sadari,
nilai-nilai itu kini telah membentuk perilaku sosial dan menjadi anutan
keluarga dan masyarakat kita. Banyak problema keluarga yang muncul di sekitar
kita umumnya menggambarkan kegelisahan yang diwarnai oleh semakin lunturnya
nilai-nilai agama dan budaya masyarakat. Masyarakat kini seolah telah berubah
menjadi “masyarakat baru” dengan wujud yang semakin kabur.
Gaya hidup remaja yang berujung pada
fenomena MBA (married by accident) telah jadi model terbaru yang digemari
banyak pasangan. Pernikahan yang dianjurkan Nabi menjadi jalan terakhir setelah
menemukan jalan buntu. Sementara perceraian yang dibenci Nabi justru menjadi
pilihan yang banyak ditempuh untuk menemukan solusi singkat. Kenyataan ini
merupakan bagian kecil dari proses modernisasi kehidupan yang berlangsung tanpa
kendali etika. Akibatnya, struktur fungsi yang sejatinya diperankan oleh
masing-masing anggota keluarga tampak semakin kabur.
Seorang anak kehilangan pegangan.
Ibu-bapaknya terlalu sibuk untuk sekadar menyapa anak-anaknya. Anak pun dewasa
dengan harus menemukan jalan hidupnya sendiri. Mencari sendiri ke mana harus
memperoleh pengetahuan, dan harus mendiskusikan sendiri siapa calon
pendampingnya. Semuanya berjalan sendiri-sendiri. Padahal, jika sendi-sendi keluarga
itu telah kehilangan daya perekatnya dan masing-masing telah menemukan jalan
hidupnya yang berbeda-beda, maka bangunan “baiti jannati”, rumahku adalah
surgaku, akan semakin menjauh dari kenyataan. Itu menjadi mimpi yang semakin
sulit terwujud. Bahkan, menjadi mimpi yang tidak pernah terpikirkan. Yang ada
hanyalah “neraka” yang tidak henti-hentinya membakar suasana rumah tangga.
Satu lagi yang sering menjadi akar
bencana keluarga, yaitu anak. Dunia anak adalah dunia yang lebih banyak
diwarnai oleh proses pencarian untuk menemukan apa-apa yang menurut perasaan
dan pikirannya ideal. Dunia ideal sendiri, baginya, adalah dunia yang ada di
depan matanya, yang karenanya ia akan melakukan pengejaran atas dasar kehendak
pribadi. Akan tetapi, di sisi lain, perkembangan psikologis yang sedang
dilaluinya juga masih belum mampu memberikan alternatif secara matang terutama
berkaitan dengan standar nilai yang dikehendakinya. Karena itu, selama proses
yang dilaluinya, hampir selalu ditemukan berbagai perubahan sesuai dengan
tuntutan lingkungan tempat di mana anak itu berkembang. Di sinilah proses
bimbingan itu diperlukan, terutama dalam ikut menemukan apa yang sesungguhnya
mereka butuhkan.
Guru di sekolah ataupun orang tua di
rumah, secara tidak sadar, seringkali menjadi sosok yang begitu dominan dalam
menentukan masa depan anak. Padahal, guru ataupun orang tua bukanlah
segala-galanya bagi perkembangan dan masa depan anak. Proses pendidikan, dengan
demikian, pada dasarnya merupakan proses bimbingan yang memerdekakan sekaligus
mencerahkan. Proses seperti itu berlangsung alamiah dalam kehidupan yang bebas
dari ikatan-ikatan yang justru tidak mendidik. Dalam kerangka seperti inilah,
maka keluarga bisa berperan sebagai lembaga yang membimbing dan mencerahkan,
atau juga sebaliknya. Jika tidak tepat memainkan peran yang sesungguhnya, bisa
saja berfungsi sebagai penjara yang hanya mampu menanamkan disiplin semu.
Anak-anak bisa menjadi manusia yang paling shalih di rumah, tetapi menjadi
binatang liar ketika keluar dari dinding-dinding rumah dan terbebas dari
pengawasan orang tua.
Dalam situasi seperti inilah, anak
mulai mencari kesempatan untuk memenuhi kebuntuan komunikasi yang dirasakannya
semakin kering dan terbatas. Sebab berkomunikasi untuk saling menyambungkan
rasa antar anggota keluarga merupakan kebutuhan dasar yang menuntut untuk
selalu dipenuhi. Konsekuensinya, ketidaktersediaan aspek ini dalam keluarga
dapat berakibat pada munculnya ketidakseimbangan psikologi yang pada gilirannya
dapat saja mengakibatkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan sosial seperti
apa yang terjadi di masyarakat sekitar kita. Inilah di antara kerusakan akibat
lunturnya atmosfir sakinah dalam keluarga.
"Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya Dia menciptakan untuk
kalian isteri dari species kalian agar kalian merasakan sakinah dengannya; Dia
juga menjadikan di antara kalian rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya
dalam hal itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir.”
Dalam ayat ini ada kalimat “Litaskunû”, supaya kalian memperoleh
atau merasakan sakinah. Jadi sakinah itu ada pada diri dan pribadi perempuan.
Laki-laki harus mencarinya di dalam diri dan pribadi perempuan. Tapi perlu
diingat laki-laki harus menjaga sumber sakinah, tidak mengotori dan menodainya.
Agar sumber sakinah itu tetap terjaga, jernih dan suci, dan mengalir tidak hanya
pada kaum bapak tetapi juga anak-anak.
Untuk membangun keluarga yang sakinah ada beberapa hak dan kewajiban yang harus di pelajari.
1.
Suami
adalah pemimpin keluarga.“Kaum lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang
lain (wanita)..”
2.
Suami dipatuhi dan tidak boleh ditentang.
3.
Tanpa
izin suami, isteri tidak boleh mensedekahkan harta suami, dan tidak boleh
berpuasa sunah.
4.
Suami
harus dilayani oleh isteri dalam hubungan badan kecuali uzur, dan isteri tidak
boleh keluar rumah tanpa izinnya. Rasulullah saw bersabda:
“Isteri harus patuh dan tidak menentangnya. Tidak mensedekahkan apapun yang ada di rumah suami tanpa izin sang suami. Tidak boleh berpuasa sunnah kecuali dengan izin suami. Tidak boleh menolak jika suaminya menginginkan dirinya walaupun ia sedang dalam kesulitan. Tidak diperkenankan keluar rumah kecuali dengan izin suami.” (Al-Faqih, 3:277)
“Isteri harus patuh dan tidak menentangnya. Tidak mensedekahkan apapun yang ada di rumah suami tanpa izin sang suami. Tidak boleh berpuasa sunnah kecuali dengan izin suami. Tidak boleh menolak jika suaminya menginginkan dirinya walaupun ia sedang dalam kesulitan. Tidak diperkenankan keluar rumah kecuali dengan izin suami.” (Al-Faqih, 3:277)
5.
Menyalakan
lampu dan menyambut suami di pintu
6.
Menyajikan
makanan yang baik untuk suami
7.
Membawakan
untuk suami bejana dan kain sapu tangan untuk mencuci tangan dan mukanya
8.
Tidak
menolak keinginan suami hubungan badan kecuali dalam keadaan sakit.
Rasulullah saw juga bersabda:
“Hak suami atas isteri adalah isteri hendaknya menyalakan lampu untuknya,
memasakkan makanan, menyambutnya di pintu rumah saat ia datang, membawakan
untuknya bejana air dan kain sapu tangan lalu mencuci tangan dan mukanya, dan
tidak menghindar saat suami menginginkan dirinya kecuali ia sedang sakit.” (Makarim Al-Akhlaq: 215)
Rasulullah saw juga bersabda:
“(Ketahuilah) bahwa wanita tidak pernah akan dikatakan telah
menunaikan semua hak Allah atasnya kecuali jika ia telah menunaikan
kewajibannya kepada suami.” (Makarim
Al-Akhlaq:215)
Hak-Hak Istri
1. Isteri sebagai sumber sakinah, cinta dan kasih sayang. Suami harus
menjaga kesuciannya.
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»t#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøs9Î) @yèy_ur Nà6uZ÷t/
Zo¨uq¨B ºpyJômuur 4
¨bÎ) Îû y7Ï9ºs ;M»tUy 5Qöqs)Ïj9 tbrã©3xÿtGt ÇËÊÈ
“
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir. “ (QS
Ar-Rum: 21)
2. Isteri harus mendapat perlakukan yang baik “Ciptakan
hubungan yang baik dengan isterimu.
$ygr'¯»t z`Ï%©!$# (#qãYtB#uä w @Ïts öNä3s9 br& (#qèOÌs? uä!$|¡ÏiY9$# $\döx. ( wur £`èdqè=àÒ÷ès? (#qç7ydõtGÏ9 ÇÙ÷èt7Î/ !$tB £`èdqßJçF÷s?#uä HwÎ) br& tûüÏ?ù't 7pt±Ås»xÿÎ/ 7poYÉit6B 4 £`èdrçÅ°$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ 4 bÎ*sù £`èdqßJçF÷dÌx. #Ó|¤yèsù br& (#qèdtõ3s? $\«øx© @yèøgsur ª!$# ÏmÏù #Zöyz #ZÏW2 ÇÊÒÈ
“ Hai
orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan
paksa[1]
dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian
dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan
pekerjaan keji yang nyata[2].
dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai
mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal
Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (
Al-Nisa’ :19)
3. Mendapat nafkah dari suami.
4. Mendapatkan pakaian dari suami.
5. Suami tidak boleh menyakiti dan membentaknya.
Pada suatu hari Khaulah binti Aswad mendatangi Rasulullah saw dan
bertanya tentang hak seorang isteri. Beliau menjawab:
“Hak-hakmu atas suamimu adalah ia harus memberimu makan dengan
kwalitas makanan yang ia makan dan memberimu pakaian seperti kwalitas yang ia
pakai, tidak menampar wajahmu, dan tidak membentakmu” (Makarim Al-Akhlaq:218)
Rasulullah saw juga bersabda:
Rasulullah saw juga bersabda:
“Orang yang bekerja untuk menghidupi keluarganya sama dengan orang
yang pergi berperang di jalan Allah.”. (Makarim
Al-Akhlaq:218)
“Terkutuklah! Terkutuklah orang yang tidak memberi nafkah kepada
mereka yang menjadi tanggung jawabnya.” (Makarim
Al-Akhlaq:218)
6. Suami harus memuliakan dan bersikap lemah lembut.
7. Suami harus memaafkan kesalahannya.
Cucu Rasulullah saw Imam Ali Zainal
Abidin (sa) berkata
“Adapun hak isteri, ketahuilah sesungguhnya Allah Azza wa Jalla
telah menjadikan untukmu dia sebagai sumber sakinah dan kasih sayang. Maka,
hendaknya kau sadari hal itu sebagai nikmat dari Allah yang harus kau muliakan
dan bersikap lembut padanya, walaupun hakmu atasnya lebih wajib baginya. Karena
ia adalah keluargamu Engkau wajib menyayanginya, memberi makan, memberi
pakaian, dan memaafkan kesalahannya.”
Menghindari pertikaian
Rasulullah saw bersabda:
“Laki-laki yang terbaik dari umatku adalah orang yang tidak
menindas keluarganya, menyayangi dan tidak berlaku zalim pada mereka.” (Makarim Al-Akhlaq:216-217)
“Barangsiapa yang bersabar atas perlakuan buruk isterinya, Allah akan memberinya pahala seperti yang Dia berikan kepada Nabi Ayyub (a.s) yang tabah dan sabar menghadapi ujian-ujian Allah yang berat. (Makarim Al-Akhlaq:213)
“Barangsiapa yang bersabar atas perlakuan buruk isterinya, Allah akan memberinya pahala seperti yang Dia berikan kepada Nabi Ayyub (a.s) yang tabah dan sabar menghadapi ujian-ujian Allah yang berat. (Makarim Al-Akhlaq:213)
“Barangsiapa yang menampar pipi isterinya satu kali, Allah akan
memerintahkan malaikat penjaga neraka untuk membalas tamparan itu dengan tujuh
puluh kali tamparan di neraka jahanam.”
(Mustadrak Al- Wasail 2:550)
Isteri tidak boleh memancing emosi suaminya, Rasulullah saw bersabda:
“Isteri yang memaksa suaminya untuk memberikan nafkah di luar batas kemampuannya, tidak akan diterima Allah swt amal perbuatannya sampai ia bertaubat dan meminta nafkah semampu suaminya.” (Makarim Al-Akhlaq: 202).
Ada suatu kisah, pada suatu hari seorang sahabat mendatangi Rasulullah dan berkata: “Ya Rasulullah, aku memiliki seorang isteri yang selalu menyambutku ketika aku datang dan mengantarku saat aku keluar rumah. Jika ia melihatku termenung, ia sering menyapaku dengan mengatakan: Ada apa denganmu? Apa yang kau risaukan? Jika rizkimu yang kau risaukan, ketahuilah bahwa rizkimu ada di tangan Allah. Tapi jika yang kau risaukan adalah urusan akhirat, semoga Allah menambah rasa risaumu.”
Isteri tidak boleh memancing emosi suaminya, Rasulullah saw bersabda:
“Isteri yang memaksa suaminya untuk memberikan nafkah di luar batas kemampuannya, tidak akan diterima Allah swt amal perbuatannya sampai ia bertaubat dan meminta nafkah semampu suaminya.” (Makarim Al-Akhlaq: 202).
Ada suatu kisah, pada suatu hari seorang sahabat mendatangi Rasulullah dan berkata: “Ya Rasulullah, aku memiliki seorang isteri yang selalu menyambutku ketika aku datang dan mengantarku saat aku keluar rumah. Jika ia melihatku termenung, ia sering menyapaku dengan mengatakan: Ada apa denganmu? Apa yang kau risaukan? Jika rizkimu yang kau risaukan, ketahuilah bahwa rizkimu ada di tangan Allah. Tapi jika yang kau risaukan adalah urusan akhirat, semoga Allah menambah rasa risaumu.”
Setelah mendengar cerita sahabatnya Rasulullah saw bersabda:
“Sampaikan kabar gembira kepadanya tentang surga yang sedang
menunggunya! Dan katakan padanya, bahwa ia termasuk salah satu pekerja Allah.
Allah swt mencatat baginya setiap hari pahala tujuh puluh syuhada’.” Kisah ini terdapat dalam kitab Makarimul Akhlaq: 200.
[1]
Ayat ini tidak menunjukkan bahwa
mewariskan wanita tidak dengan jalan paksa dibolehkan. menurut adat sebahagian
Arab Jahiliyah apabila seorang meninggal dunia, Maka anaknya yang tertua atau
anggota keluarganya yang lain mewarisi janda itu. janda tersebut boleh dikawini
sendiri atau dikawinkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh pewaris
atau tidak dibolehkan kawin lagi.
No comments:
Post a Comment