A. Latar belakang
Mencerdaskan kehidupan bangsa
merupakan salah satu tujuan nasional yang secara tegas dikemukakan dalam
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Tujuan nasional tersebut berlaku bagi
seluruh rakyat Indonesia, tidak hanya bagi warga negara Indonesia yang memiliki
kondisi normal tetapi juga berlaku untuk anak yang memiliki kebutuhan khusus
seperti anak yang berkelainan secara fisik. Untuk mencapai tujuan nasional
tersebut, pemerintah telah melakukan banyak usaha meskipun tidak sedikit
kendala maupun rintangan yang ditemui di lapangan. Dahulu pelaksanaan
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dilakukan dalam satu sistem pendidikan
yang terpisah dengan pendidikan bagi anak didik pada umumnya yaitu di sekolah
luar biasa. Dengan sistem pendidikan yang demikian, menghambat anak tuna netra
untuk mengembangkan kemandirian serta penyesuaian diri di masyarakat umum.
Berdasarkan Undang Undang Dasar 1945
pasal 31 ayat 1 dan Undang– Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dapat disimpulkan bahwa negara memberikan jaminan sepenuhnya
kepada anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh layanan pendidikan yang
bermutu. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus berhak pula
memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (reguler) dalam pendidikan.
Selama ini, layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus di Indonesia
disediakan melalui tiga macam lembaga pendidikan yaitu, Sekolah Luar Biasa
(SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai
lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis kelainan yang
sama sehingga ada SLB untuk anak dengan hambatan penglihatan (Tunanetra), SLB
untuk anak dengan hambatan pendengaran (Tunarungu), SLB untuk anak dengan
hambatan berpikir/kecerdasan (Tunagrahita), SLB untuk anak dengan hambatan (fisik
dan motorik (Tunadaksa), SLB untuk anak dengan hambatan emosi dan perilaku
(Tunalaras), dan SLB untuk anak dengan hambatan majemuk (Tunaganda). Sedangkan
SLB menampung berbagai jenis anak berkebutuhan khusus. Sedangkan pendidikan
terpadu adalah sekolah reguler yang juga menampung anak berkebutuhan khusus,
dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar mengajar yang
sama.
Namun selama ini baru menampung anak
dengan hambatan penglihatan (tunanetra), itupun perkembangannya kurang
menggembirakan karena banyak sekolah reguler yang keberatan menerima anak
berkebutuhan khusus. Pada umumnya, lokasi SLB berada di ibu Kota Kabupaten,
padahal anak–anak berkebutuhan khusus tersebar hampir di seluruh daerah
(kecamatan/desa), tidak hanya di ibu kota kabupaten. Akibatnya sebagian dari
mereka, terutama yang kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak
disekolahkan karena lokasi SLB jauh dari rumah, sementara kalau akan
disekolahkan di SD terdekat, sekolah tersebut tidak bersedia menerima karena merasa
tidak mampu melayaninya. Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat diterima
di sekolah terdekat, namun karena ketiadaan guru pembimbing khusus akibatnya
mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah. Permasalahan diatas
dapat berakibat pada kegagalan program wajib belajar.
Untuk mensukseskan wajib belajar
pendidikan dasar, dipandang perlu meningkatkan perhatian terhadap anak
berkebutuhan khusus, baik yang telah memasuki sekolah reguler (SD) tetapi belum
mendapatkan pelayanan pendidikan khusus maupun yang belum mengenyam pendidikan
sama sekali karena tidak diterima di SD terdekat atau karena lokasi SLB jauh
dari tempat domisilinya. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan warna lain dalam penyediaan
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Pada penjelasan pasal 15 tentang
pendidikan khusus disebutkan bahwa ‘pendidikan khusus merupakan pendidikan
untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki
kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan
pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.
Pasal inilah yang memungkinkan
terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan berupa
penyelenggaraan pendidikan inklusif. Secara lebih operasional, hal ini
diperkuat dengan peraturan pemerintah tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan
Layanan Khusus. Dengan demikian pelayanan pendidikan bagi Anak Berkebutuhan
Khusus (ABK) tidak lagi hanya di SLB tetapi terbuka di setiap satuan dan
jenjang pendidikan baik sekolah luar biasa maupun sekolah reguler/umum. Dengan
adanya kecenderungan kebijakan ini, maka tidak bisa tidak semua calon pendidik
di sekolah umum wajib dibekali kompetensi pendidikan bagi ABK. Pembekalan ini
perlu diwujudkan dalam Mata Kuliah Pendidikan Inklusif atau Pendidikan Anak
Berkebutuhan Khusus.
B. Tujuan dan Landasan
a. Tujuan
Pendidikan inklusif di Indonesia
diselenggarakan dengan tujuan : Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya
kepada semua anak (termasuk anak berkebutuhan khusus)mendapatkan pendidikan
yang layak sesuai dengan kebutuhannya. Membantu mempercepat program wajib
belajar pendidikan dasar Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan
menengah menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah. Menciptakan
sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak diskriminatif, serta
ramah terhadap pembelajaran Memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945 khususnya
Ps. 32 ayat 1 yang berbunyi ’setiap warga negara negara berhak mendapat
pendidikan’, dan ayat 2 yang berbunyi ’setiap warga negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya’. UU no. 20/2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Ps. 5 ayat 1 yang berbunyi ’setiap warga
negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu’. UU
No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, khususnya Ps. 51 yang berbunyi ’anak
yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikana kesempatan yang sama dan
aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.
b. Landasan Filosofis
- Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya
dengan lambang negara Burung Garuda yang berarti ’bhineka tunggal ika’.
Keragaman dalam etnik, dialek, adat istiadat, keyakinan, tradisi, dan
budaya merupakan kekayaan bangsa yang tetap menjunjung tinggi persatuan
dan kesatuadalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
- Pandangan Agama (khususnya Islam) antara lain
ditegaskan bahwa : (1) manusia dilahirkan dalam keadaan suci, (2)
kemuliaan seseorang di hadapan Tuhan (Allah) bukan karena fisik tetapi
taqwanya, (3) Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu
sendiri (4) manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling silaturahmi
(‘inklusif’).
- Pandangan universal Hak azasi manusia, menyatakan bahwa
setiap manusia mempunyai hak untuk hidup layak, hak pendidikan, hak
kesehatan, hak pekerjaan.
c. LandasanYuridis
- UUD 1945 (Amandemen) Ps. 31 : (1) berbunyi ‘Setiap
warga negara berhak mendapat pendidikan. Ayat (2) ’Setiaap warga negara
wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya’.
- UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Ps. 48
‘Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan)
tahun untuk semua anak. Ps. 49 ’Negara, Pemerintah, Keluarga, dan Orangtua
wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk
memperoleh pendidikan’.
- UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Ps. 5 ayat (1) ‘Setiap warga negara mempunyai hak yang sama
untuk memperoleh pendidikan yang bermutu’. Ayat (2) : Warganegara yang
memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial
berhak memperoleh pendidikan khusus. Ayat (3) ‘Warga negara di daerah
terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak
memperoleh pendidikan layanan khusus’. Ayat (4) ‘Warga negara yang
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh
pendidikan khusus’. Pasal 11 ayat (1) dan (2) ‘Pemerintah dan pemerintah
daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin
terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa
diskriminasi’. ‘Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin
tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara
yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun’. Pasal 12 ayat (1)
‘Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan
pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya (1.b).
Setiap peserta didik berhak pindah ke program pendidikan pada jalur dan
satuan pendidikan lain yang setara (1.e). Pasal 32 ayat (1 ) ‘Pendidikan
khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat
kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik,
emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat
istimewa’. Ayat (2) ‘Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi
peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat
terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak
mampu dari segi ekonomi.’ Dalam penjelasan Pasal 15 alinea terakhir dijelaskan
bahwa ‘Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk
peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan
luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan
pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah’. Pasal 45
ayat (1) ‘Setiap satuan pendidikan formal dan non formal menyediakan
sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan
pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual,
sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik’.Peraturan Pemerintah No. 19
tahun 2005 tentang Estándar Nasional Pendidikan. Pasal 2 ayat (1)
Lingkungan Stándar Nasional Pendidikan meliputi stándar isi, stándar
proses, stándar kompetensi lulusan, stándar pendidik dan kependidikan,
stándar sarana prasarana, stándar pengelolaan, stándar pembiayaan, dan
stándar penilaian pendidikan. Dalam PP No. 19/2005 tersebut juga
dijelaskan bahwa satuan pendidikan khusus terdiri atas : SDLB, SMPLB dan
SMALB.
- Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No.
380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusif :
menyeelenggarakan dan mengembangkan di setiap Kabupaten/Kota
sekurang-kurangnya 4 (empat) sekolah yang terdiri dari : SD, SMP, SMA, dan
SMK.
d. Landasan Empiris
- Deklarasi Hak Asasi Manusia, 1948 (Declaration of Human
Rights),
- Konvensi Hak Anak, 1989 (Convention on the Rights of
the Child),
- Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua, 1990
(World Conference on Education for All)
- Resolusi PBB nomor 48/96 tahun 1993 tentang Persamaan
Kesempatan bagi Orang Berkelainan (the standard rules on the equalization
of opportunities for persons with disabilities)
- Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusi, 1994
(The Salamanca Statement on Inclusive Education),
- Komitmen Dakar mengenai Pendidikan untuk Semua, 2000
(The Dakar Commitment on ducation for All)
- Deklarasi Bandung (2004) dengan komitmen “Indonesia
menuju pendidikan inklusif”,
- Rekomendasi Bukittinggi (2005), bahwa pendidikan yang
inklusif dan ramah terhadap anak seyogyanya dipandang sebagai:
- Sebuah pendekatan terhadap peningkatankualitas sekolah secara menyeluruh yang akan menjamin bahwa strategi nasional untuk ‘pendidikan untuk semua’ adalah benar-benar untuk semua;
- Sebuah cara untuk menjamin bahwa semua anak memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas di dalam komunitas tempat tinggalnya sebagai bagian dari program-program untuk perkembangan usia dini anak, pra sekolah, pendidikan dasar dan menengah, terutama mereka yang pada saat ini masih belum diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan di sekolah umum atau masih rentan terhadap marginalisasi dan eksklusi; dan
- Sebuah kontribusi terhadap pengembangan masyarakat yang
menghargai dan menghormati perbedaan individu semua warga negara.
C. Falsafah pendidikan inklusif
Secara umum falsafah inklusi adalah
mewujudkan suatu kehidupan yang ramah tidak diskriminatif dalam segala aspek
kehidupan masyarakat. Dengan demikian inklusi tidak hanya dalam aspek
pendidikan tetapi dalam segala aspek kehidupan. Inklusi berarti juga suatu
cita-cita seperti halnya kehidupan adil dan makmur serta sejahtera yang harus
dicapai dalam suatu kehidupan masyarakat. Falsafah pendidikan inklusif adalah
upaya mewujudkan sekolah yang ramah dalam pembelajaran.
- Sekolah ramah adalah pendidikan yang menghargai hak
dasar manusia
- Sekolah ramah adalah pendidikan yang
memperhatikan kebutuhan individual
- Sekolah ramah berarti menerima keanekaragaman
- Sekolah ramah berarti tidak deskriminatif
Sekolah ramah menghindari
labelisasi. Falsafah pendidikan inklusi juga dapat bermakna :
- Pendidikan untuk semua. Setiap anak berhak untuk mengakses dan mendapatkan
fasilitas pendidikan yang layak.
- Belajar hidup bersama dan bersosialisasi.Setiap anak berhak untuk mendapatkan perhatian yang
sama sebagai peserta didik
- Integrasi pada lingkungan.Setiap anak berhak menyatu dengan lingkungannya dan
menjalin kehidupan sosial yang harmonis.
- Penerimaan terhadap perbedaan.Setiap anak berhak dipandang sama dan tidak
mendapatkan diskriminasi dalam pendidikan.
Setiap anak merupakan pribadi yang
unik. Sekolah ramah menuntut perubahan banyak hal, di antaranya :
- Sekolah ramah menuntut perubahan pola pikir, pola
sikap, dan pola tindak semua komponen sekolah
- Kesiapan siswa menerima anak khusus
- Kesiapan guru menerima anak khusus
- Kesiapan orangtua menerima anak khusus
- Kesiapan anak khusus dan orangtua anak khusus menerima
lingkungan yang tidak ekslusif
D. Konsep Pendidikan
Integratif dan Pendidikan Inklusif
Sejarah perkembangan pendidikan
inklusif di dunia pada mulanya diprakarsai dan diawali dari negara-negara
Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Di Amerika Serikat pada tahun1960-an
oleh Presiden Kennedy mengirimkan pakar-pakar Pendidikan Luar Biasa ke
Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan Least restrictive environment,
yang ternyata cocok untuk diterapkan di Amerika Serikat. Selanjutnya di Inggris
dalam Ed.Act. 1991 mulai memperkenalkan adanya konsep pendidikan inklusif
dengan ditandai adanya pergeseran model pendidikan untuk anak berkebutuhan
khusus dari segregatif ke integratif. Tuntutan penyelenggaraan pendidikan
inklusif di dunia semakin nyata terutama sejak diadakannya konvensi dunia
tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi dunia tentang pendidikan tahun
1991 di Bangkok yang menghasilkan deklarasi ’education for all’. Implikasi dari
statemen ini mengikat bagi semua anggota konferensi agar semua anak tanpa
kecuali (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan layanana pendidikan
secara memadai. Sebagai tindak lanjut deklarasi Bangkok, pada tahun 1994
diselenggarakan konvensi pendidikan di Salamanca Spanyol yang mencetuskan
perlunya pendidikan inklusif yang selanjutnya dikenal dengan ’the Salamanca
statement on inclusive education”.
Sejalan dengan kecenderungan
tuntutan perkembangan dunia tentang pendidikan inklusif, Indonesia pada tahun
2004 menyelenggarakan konvensi nasional dengan menghasilkan Deklarasi Bandung
dengan komitmen Indonesia menuju pendidikan inklusif.
Untuk memperjuangkan hak-hak anak
dengan hambatan belajar, pada tahun 2005 diadakan simposium internasional di
Bukittinggi dengan menghasilkan Rekomendasi Bukittinggi yang isinya antara lain
menekankan perlunya terus dikembangkan program pendidikan inklusif sebagai
salah satu cara menjamin bahwa anak benar-benar memperoleh pendidikan.
Berdasarkan perkembangan sejarah pendidikan inklusif dunia tersebut, maka
Pemerintah Republik Indonesia sejak awal tahun 2000 mengembangkan program
pendidikan inklusif. Program ini merupakan kelanjutan program pendidikan
terpadu yang sesungguhnya pernah diluncurkan di Indonesia pada tahun 1980-an,
tetapi kemudian kurang berkembang, dan baru mulai tahun 2000 dimunculkan
kembali dengan mengikuti kecenderungan dunia, menggunakan pendidikaninklusif.
1. Pengertian Pendidikan
inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak
berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama
teman-teman seusianya (Sapon-Shevin dalam O’Neil, 1994) Sekolah inklusif adalah
sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan
program pendidikan yang layak, menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan
dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan
oleh para guru, agar anak-anak berhasil (Stainback,1980)
Global View of Disability: Mithu
Alur and Michael Bach (Inclusive Education for children With
Disability 2005:11)
- 550 million disabled people (6,5 billion of human
population
- 80 % live in develoving countries
- 33% are children
- 80% Live in rural area
- Labeled the “poorest of the poor
- 55% of the disabled children live in poverty
- In some countries, 90 % disabled children won’t survive
beyond age 20
- WHO estimates 98% of disabled people in developing
countries are totally neglected (no free medical care or social security)
Menurut CAPP Mithu Alur and Michael
Bach (Inclusive Education for children With Disability 2005:59)
- Inclusive education means every child learning together
in his/her neibourhood school All children are welcomed in the school and
all children learn together in the regular classroom.
- Afford “open access”to students with disabilities
- Uses Identifiable school, classroom and instructional
practice that promote inclusion and make real involment and acceptance
probable.
- Ensure that student with disabilities take part in all
aspect of the social life of the school
- Inclusive education is for every child
Berdasarkan batasan tersebut
pendidikan inklusif dimaksudkan sebagai sistem layanan pendidikan yang
mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya
di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Semangat
penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah memberikan kesempatan atau akses
yang seluas-luasnya kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu
dan sesuai dengan kebutuhan individu peserta didik tanpa diskriminasi.
2. Pendidikan Segregasi,
Pendidikan integratif dan Pendidikan Inklusif
a. Pendidikan segregasi
Pendidikan segregasi adalah sekolah yang memisahkan anak berkebutuhan
khusus dari sistem persekolahan reguler. Di Indonesia bentuk sekolah segregasi
ini berupa satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa sesuai dengan jenis
kelainan peserta didik. Seperti SLB/A (untuk anak tunanetra), SLB/B (untuk anak
tunarungu), SLB/C (untuk anak tunagrahita), SLB/D (untuk anak tunadaksa), SLB/E
(untuk anak tunalaras), dan lain-lain. Satuan pendidikan khusus (SLB) terdiri
atas jenjang TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB. Sebagai satuan pendidikan khusus,
maka sistem pendidikan yang digunakan terpisah sama sekali dari sistem
pendidikan di sekolah reguler, baik kurikulum, tenaga pendidik dan
kependidikan, sarana prasarana, sampai pada sistem pembelajaran dan
evaluasinya. Kelemahan dari sekolah segregasi ini antara lain aspek
perkembangan emosi dan sosial anak kurang luas karena lingkungan pergaulan yang
terbatas.
b. Pendidikan
terpadu/integratif
Pendidikan terpadu adalah sekolah
yang memberikan kesempatan kepada peserta didik berkebutuhan khusus untuk
mengikuti pendidikan di sekolah reguler tanpa adanya perlakuan khusus yang
disesuaikan dengan kebutuhan individual anak. Sekolah tetap menggunakan
kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, serta sistem
pembelajaran reguler untuk semua peserta didik. Jika ada peserta didik tertentu
mengalami kesulitan dalam mengikuti pendidikan, maka konsekuensinya peserta didik
itu sendiri yang harus menyesuaikan dengan sistem yang dituntut di sekolah
reguler. Dengan kata lain pendidikan terpadu menuntut anak yang harus
menyesuaikan dengan sistem yang dipersyaratkan sekolah reguler. Kelemahan dari
pendidikan melalui sekolah terpadu ini antara lain, anak berkebutuhan khusus
tidak mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan individual anak. Sedangkan
keuntungannya adalah anak berkebutuhan khusus dapat bergaul di lingkungan
sosial yang luas dan wajar.
Sistem pendidikan integratif
Penyelenggaraan program pendidikan
terpadu bermula dengan keluarnya surat keputusan Mendikbud No.002/U/1986
tanggal 4 Januari 1986 tentang program pendidikan terpadu bagi anak cacat.
Keputusan itu disusul dengan surat edaran Dirjen Dikdasmen No.6718/C/I/89
tanggal 15 Juli 1989 tentang perluasan kesempatan belajar bagi anak berkelainan
di sekolah umum. Kemudian SK Mendikbud No.0491/U/1992 mempertegas tentang
pendidikan bagi anak berkelainan yang diselenggarakan bersama-sama dengan anak
normal di jalur pendidikan sekolah. Melalui program pendidikan terpadu ini para
peserta didik dimungkinkan untuk saling menyesuaikan diri, saling belajar
tentang sikap, perilaku dan ketrampilan, saling berimitasi dan
mengidentifikasi, menghilangkan sifat menyendiri, menimbulkan sikap saling
percaya, meningkatkan motivasi untuk belajar dan meningkatkan harkat serta
harga diri. Selain surat keputusan yang telah diuraikan di atas, juga ada surat
Direktur Pendidikan Dasar No.0267/C2/U/1994 tanggal 30 Maret 1994 tentang
penyelenggaraan pendidikan terpadu yang diberlakukan bagi beberapa jenis
kecacatan akan tetapi memiliki kemampuan inteligensi normal atau di atas
rata-rata. Pelaksanaan pendidikan terpadu di Indonesia terselenggara
dengan sistem:
- Belajar di kelas biasa dengan guru kelas.
Sekarang ini banyak siswa tuna netra yang mendapatkan program pelayanan
pendidikan terpadu secara penuh, dimana siswa belajar di kelas biasa
dan ditangani sepenuhnya oleh guru kelas serta masing-masing guru bidang
studi.
- Belajar di kelas biasa dengan guru kelas dan seorang guru pembimbing khusus.Siswa tuna netra belajar di kelas biasa dengan guru kelas yang didampingi oleh guru pembimbing khusus. Guru pembimbing khusus dapat berasal dari kalangan guru PLB tetapi dapat pula dari tenaga ahli di bidang ketunanetraan.
- Belajar di kelas biasa dengan guru kunjung Guru kunjung
biasanya menangani siswa tuna netra yang belajar pada beberapa sekolah.
Fungsinya hanya memberikan saran-saran kepada guru kelas atau guru bidang
studi.
- Belajar di sekolah umum dengan kelas khususSiswa tuna
netra belajar di sekolah umum tetapi belajar di kelas yang khusus
(terpisah dengan siswa normal lainnya).
- Belajar dalam satu lokasi sekolah dengan berbagai macam ketunaan.Siswa tuna netra bersama dengan siswa yang memiliki kebutuhan khusus lainnya belajar dalam satu gedung sekolah yang sama.
HAMBATAN PELAKSANAAN PENDIDIKAN
INTEGRATIF
Di beberapa daerah di Indonesia,
banyak sekolah umum yang tidak mau menerima siswa berkebutuhan khusus untuk
belajar di sekolah tersebut dengan alasan tidak adanya surat keputusan dari
pemerintah yang menyatakan bahwa sekolah tersebut harus menerima siswa yang
memiliki kebutuhan khusus. Sesuai surat keputusan Kepala Kanwil Depdiknas
Propinsi DKI Jakarta No.31/101.B2/LL/1999 tanggal 23 April 1999 ditunjuklah
beberapa sekolah umum di DKI Jakarta menjadi sekolah terpadu. Pada
kenyataannya, banyak Kepala Sekolah yang ditunjuk sebagai sekolah terpadu
merasa keberatan dengan penunjukan tersebut. Alasannya sekolah mereka tidak
akan mendapatkan nilai plus dengan kehadiran siswa yang berkebutuhan khusus di
sekolah mereka. Kepala sekolah juga merasa bahwa dengan penunjukan tersebut
akan menurunkan nilai kinerja sekolah, sementara nilai kinerja sekolah tersebut
yang diperoleh melalui nilai akademis siswa merupakan dasar bagi penilaian
akreditasi sekolah yang akan dilaksanakan mulai tahun ajaran 2002/2003 di
seluruh sekolah negeri di Jakarta.
Penunjukan sekolah umum menjadi
sekolah terpadu juga tidak disertai dengan sosialisasi anak berkebutuhan khusus
kepada kepala sekolah beserta staff dan gurunya. Selain itu prasarana dan
sarana penunjang pelayanan pendidikan terpadu juga tidak disediakan oleh
pemerintah.Penunjukan sekolah terpadu di Jakarta hanya ditujukan untuk SLTP dan
SMU. Sedangkan untuk jenjang sekolah dasar belum ada penunjukan untuk sekolah
terpadu. Masih banyak anggapan di benak guru-guru di sekolah umum yang
menyatakan bahwa mengajar anak yang memiliki kebutuhan khusus adalah sesuatu
yang remeh. Sehingga mereka akan merasa menjadi rendah apabila sekolah dimana
tempat mereka mengajar dijadikan sekolah terpadu.Surat Direktur Pendidikan
Dasar No.0267/C2/U/1994 tanggal 30 Maret 1994 tentang penyelenggaraan
pendidikan terpadu yang diberlakukan bagi beberapa jenis kecacatan akan tetapi
memiliki kemampuan inteligensi normal atau di atas rata-rata menjadi kendala
pula bagi pelaksanaan pendidikan terpadu di Indonesia. Sebab dengan surat
keputusan tersebut pihak sekolah umum dapat menolak siswa berkebutuhan khusus
yang memiliki intelegensi di bawah rata-rata, dengan demikian pelaksanaan
pendidikan terpadu menjadi sangat terbatas hanya bagi siswa yang sangat pandai
saja.
c. Pendidikan inklusif
Pendidikan inklusif merupakan
perkembangan baru dari pendidikan terpadu. Pada sekolah inklusif setiap anak
sesuai dengan kebutuhan khususnya, semua diusahakan dapat dilayani secara
optimal dengan melakukan berbagai modifikasi dan/atau penyesuaian, mulai dari
kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, sistem
pembelajaran sampai pada sistem penilaiannya. Dengan kata lain pendidikan
inklusif mensyaratkan pihak sekolah yang harus menyesuaikan dengan tuntutan
kebutuhan individu peserta didik, bukan peserta didik yang menyesuaikan dengan
sistem persekolahan. Keuntungan dari pendidikan inklusif anak berkebutuhan
khusus maupun anak biasa dapat saling berinteraksi secara wajar sesuai dengan
tuntutan kehidupan sehari-hari di masyarakat, dan kebutuhan pendidikannya dapat
terpenuhi sesuai potensinya masing-masing. Konsekuensi penyelenggaraan
pendidikan inklusif adalah pihak sekolah dituntut melakukaan berbagai
perubahan, mulai cara pandang, sikap, sampai pada proses pendidikan yang
berorientasi pada kebutuhan individual tanpa diskriminasi.
3. Implikasi manajerial pendidikan
inklusif Sekolah reguler yang menerapkan program pendidikan inklusif akan
berimplikasi secara manajerial di sekolah tersebut. Diantaranya adalah:
- Sekolah reguler menyediakan kondisi kelas yang hangat,
ramah, menerima keanekaragaman dan menghargai perbedaan.
- Sekolah reguler harus siap mengelola kelas yang
heterogen dengan menerapkan kurikulum dan pembelajaran
yang bersifat individual.
- Guru di kelas reguler harus menerapkan pembelajaran
yang interaktif.
- Guru pada sekolah inklusif dituntut melakukan
kolaborasi dengan profesi atau sumberdaya lain dalam perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi.
- Guru memahami multiple intelligence
- Guru memahami perbedaan kebutuhan dalam
mengembangkan kurikulum
- Mampu merubah aturan main antara guru dengan siswa
- Guru memiliki strategi dan model serta metode
mengajar yang bervariasi.
- Guru pada sekolah inklusif dituntut melibatkan orangtua
secara bermakna dalam proses pendidikan.
E. Pro dan kontra pendidikan
inklusif
Meskipun pendidikan inklusif telah
diakui di seluruh dunia sebagai salah satu upaya mempercepat pemenuhan hak
pendidikan bagi setiap anak, namun perkembangan pendidikan inklusif mengalami
kemajuan yang berbeda-beda di setiap negara. Sebagai inovasi baru, pro dan
kontra pendidikan inklusif masih terjadi dengan alasan masing-masing. Sebagai
negara yang ikut dalam berbagai konvensi dunia, Indonesia harus merespon secara
proaktif terhadap kecenderungan perkembangan pendidikan inklusif. Salah satunya
adalah dengan cara memahami secara kritis tentang pro dan kontra pendidikan
inklusif.Pro Pendidikan Inklusifa. Belum ada bukti empirik yang kuat bahwa SLB
merupakan satu-satunya sistem terbaik untuk pendidikan anak berkebutuhan
khusus.b. Beaya penyelenggaraan SLB jauh lebih mahal dibanding dengan dengan
sekolah regular.c. Banyak anak berkebutuhan khusus yang tinggal di daerah-daerah
tidak dapat bersekolah di SLB karena jauh dan/atau biaya yang tidak terjangkau.
1. Pro Pendidikan Inklusif.
- Belum ada bukti empirik yang kuat bahwa SLB merupakan satu-satunya sistem terbaik untuk pendidikan anak berkebutuhan khusus.
- Biaya penyelenggaraan SLB jauh lebih mahal dibanding dengan dengan sekolah regular.
- Banyak anak berkebutuhan khusus yang tinggal di daerah-daerah tidak dapat bersekolah di SLB karena jauh dan/atau biaya yang tidak terjangkau.
2. Kontra Pendidikan Inklusif.
- Peraturan perundangan memberikan kesempatan pendidikan khusus bagi anak berkebutuhan khusus.
- Hasil penelitian masih menghendaki berbagai alternatif pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
- Banyak orangtua yang anaknya tidak ingin bersekolah di sekolah reguler.
- Banyak sekolah reguler yang belum siap menyelenggarakan pendidikan inklusif karena menyangkut sumberdaya yang terbatas
- Sekolah khusus/SLB dianggap lebih efektif karena diikuti anak yang sejenis.5. Pendidikan Inklusif yang Moderat.
Jalan keluar untuk mengatasi pro dan
kontra tentang pendidikan inklusif, maka dapat diterapkan pendidikan inklusif
yang moderat. Pendidikan inklusif yang moderat dimaksud adalah Pendidikan
inklusif yang memadukan antara terpadu dan Inklusi penuh.
b. Filosofinya tetap pendidikan
inklusif, tetapi dalam prakteknya anak berkebutuhan khusus disediakan berbagai
alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Anak berkebutuhan
khusus fleksibel pindah dari satu bentuk layanan ke bentuk layanan yang lain,
seperti : bentuk kelas reguler penuh, bentuk kelas reguler dengan cluster,
bentuk kelas reguler dengan ’pull out’, bentuk kelas reguler dengan ‘cluster
dan pull out’, bentuk kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian. bentuk
kelas khusus penuh di sekolah reguler
(1) Inklusi seyogyanya dipandang
sebagai sebuah prinsip fundamental yang mendasari
kebijakan nasional.
(2) Konsep kualitas seyogyanya
difokuskan pada perkembangan nasional, emosi dan fisik,
maupun pencapaian
akademik lainnya.
(3) Sistem asesmen dan evaluasi nasional
perlu direvisi agar sesuai dengan prinsip-prinsip
non-diskriminasi dan inklusi
serta konsep kualitas sebagaimana telah disebutkan di atas.
(4) Orang dewasa seyogyanya
menghargai dan menghormati semua anak,
tanpa memandang perbedaan karakteristik
maupun keadaan individu,
serta seharusnya pula memperhatikan pandangan mereka.
(5) Semua kementerian seyogyanya
berkoordinasi untuk mengembangkan strategi bersama
menuju inklusi.
(6) Demi menjamin pendidikan untuk
Semua melalui kerangka sekolah yang ramah terhadap
anak (SRA), maka masalah
non-diskriminasi dan inklusi harus diatasi dari semua dimensi SRA,
dengan upaya
bersama yang terkoordinasi antara lembaga-lembaga pemerintah dan
non-pemerintah, donor, masyarakat, berbagai kelompok local, orang tua, anak
maupun
sektor swasta
(7) Semua pemerintah dan organisasi
internasional serta organisasi non-pemerintah,
seyogyanya berkolaborasi dan
berkoordinasi dalam setiap upaya untuk mencapai keberlangsungan pengembangan
masyarakat inklusif dan lingkungan yang ramah terhadap pembelajaran bagi semua
anak.
(8) Pemerintah seyogyanya
mempertimbangkan implikasi sosial maupun ekonomi bila
tidak mendidik semua
anak, dan oleh karena itu dalam Manajemen Sistem Informasi Sekolah
harus
mencakup semua anak usia sekolah.
(9) Program pendidikan pra-jabatan
maupun pendidikan dalam jabatan guru seyogyanya
direvisi guna mendukung
pengembangan praktek inklusi sejak pada tingkat usia
pra-sekolah hingga
usia-usia di atasnya dengan menekankan pada pemahaman secara
holistik tentang
perkembangan dan belajar anak termasuk pada intervensi dini
(10) Pemerintah (pusat,propinsi, dan
lokal) dan sekolah seyogyanya membangun dan
memelihara dialog dengan
masyarakat, termasuk orang tua, tentang nilai-nilai sistem
pendidikan yang
non-diskriminatif dan inklusif.
F. Kriteria Calon Sekolah
Penyelenggara Pendidikan Inklusif
1. Kesiapan sekolah untuk
menyelenggarakan program pendidikan inlusif (kepala sekolah, komite sekolah,
guru, peserta didik, dan orang tua)
2. Terdapat anak berkebutuhan khusus
di lingkungan sekolah
3. Tersedia guru khusus/PLB (guru
tetap sekolah atau guru yang diperbantukan dari lembaga lain)
4. Komitmen terhadap penuntasan
wajib belajar
5. Memiliki jaringan kerjasama
dengan lembaga lain yang relevan
6. Tersedia sarana penunjang yang
mudah diakses oleh semua anak
7. Pihak sekolah telah memperoleh
sosialisasi tentang pendidikan inklusi
8. Sekolah tersebut telah
terakreditasi
G. Rekomendasi
Rekomendasi berikut ini untuk lebih
meningkatkan kualitas sistem pendidikan:
(1) Inklusi seyogyanya dipandang
sebagai sebuah prinsip fundamental yang mendasari kebijakannasional.
(2) Konsep kualitas seyogyanya
difokuskan pada perkembangan nasional, emosi dan fisik, maupun pencapaian
akademik lainnya.
(3) Sistem asesmen
dan evaluasi nasional perlu direvisi agar sesuai dengan prinsip-prinsip
non-diskriminasi dan inklusi serta konsep kualitas sebagaimana telah disebutkan
di atas.
(4) Orang dewasa seyogyanya
menghargai dan menghormati semua anak, tanpa memandang perbedaan karakteristik
maupun keadaan individu, serta seharusnya pula memperhatikan pandangan mereka.
(5) Semua kementerian
seyogyanya berkoordinasi untuk mengembangkan strategi bersama menuju inklusi.
(6) Demi menjamin
pendidikan untuk Semua melalui kerangka sekolah yang ramah terhadap anak (SRA),
maka masalah non-diskriminasi dan inklusi harus diatasi dari semua dimensi SRA,
dengan upaya bersama yang terkoordinasi antara lembaga-lembaga pemerintah dan
non-pemerintah, donor, masyarakat, berbagai kelompok local, orang tua, anak
maupun sektor swasta.
(7) Semua pemerintah dan
organisasi internasional serta organisasi non-pemerintah, seyogyanya
berkolaborasi dan berkoordinasi dalam setiap upaya untuk mencapai
keberlangsungan pengembangan masyarakat inklusif dan lingkungan yang ramah
terhadap pembelajaran bagi semua anak.
(8) Pemerintah seyogyanya
mempertimbangkan implikasi sosial maupun ekonomi bila tidak mendidik semua
anak, dan oleh karena itu dalam Manajemen Sistem Informasi Sekolah harus
mencakup semua anak usia sekolah
(9) Program pendidikan
pra-jabatan maupun pendidikan dalam jabatan guru seyogyanya direvisi guna
mendukung pengembangan praktek inklusi sejak pada tingkat usia pra-sekolah
hingga usia-usia di atasnya dengan menekankan pada pemahaman secara holistik
tentang perkembangan dan belajar anak termasuk pada intervensi dini
(10) Pemerintah (pusat, provinsi,
dan lokal) dan sekolah seyogyanya membangun dan memelihara dialog dengan
masyarakat, termasuk orang tua, tentang nilai-nilai sistem pendidikan yang
non-diskriminatif dan inklusif.
H. Kesimpulan
1). Landasan yuridis, empirik, dan
falsafah pendidikan integratif dan pendidikan inklusif sudah jelas tetapi
banyak faktor yang harus diperhatikan demi terlaksananya pendidikan ini secara
berkesinambungan
2). Pro dan Kontra di masyarakat
tentang pelaksanaan pendidikan integratif dan inklusif perlu di cari solusi
nyata sehingga tujuan pendidikan nasional dapat dicapai.
3) Belum ada sinergi yang baik
antara pemerintah, seluruh lembaga pendidikan serta masyarakat dalam upaya
mewujudkan pendidikan integratif dan pendidikan inklusif tersebut
DAFTAR PUSTAKA
Ashman,A.& Elkins,J.(194). Educating
Children With Special Needs. New York:Prentice Hall.
Basuki Wibawa, Ivan Hanafi,
Rusilanti(editor) Bunga Rampai Kajian Pendidikan Nasional,
Cetakan I, Juli,2008 penerbit UNJ.
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar
Biasa, (2006) Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif,
Depdiknas Jakarta (Draf Naskah tidak diterbitkan)
Johnsen, Berit H dan Miriam D.
Skjorten (2003) Pendidikan Kebutuhan Khusus; Sebuah Pengantar, Bandung :
Unipub
Kauffman and Mara
Sapon-Shevin.Educational Leadership.52 (4) 7-11 Stainback,W.&
Sianback,S.(1990). Support Networks for Inclusive Schooling:Independent
Integrated Education.Baltimore: Paul H.Brooks.
Mithu Alur and Michael Bach,2005. Inclusive
Education for children with disability CAPP. Education World Books, WQ
Judge Press, Mumbai India: 2005
PP No 19 Tahun 2005 Tentang Standar
Nasioanal Pendidikan
Undang – Undang Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
UNESCO (1994). The Salamanca
Statement and Framework For Action on Special Needs Education.
PARIS:Author.Warnock,H.M.(1978). Special Educational Needs:Report of The
committee of Enquiry in the Education of Handicapped Young People. London: Her
Majesty’s, Stationary Office
No comments:
Post a Comment